Menunggunya kembali, hari ini, disebuah resto kecil dengan aroma kopi yang membius rangka kepala, sehingga isi didalamnya bisa menikmati berjam-jam menunggu tanpa pekikan bosan.
Akhirnya sosok tubuh yang aku kenali itu muncul juga. "Maaf, telat. Pekerjaan menumpuk, dan..." Sebuah tawa lebar mengakhiri alibinya, melihatku yang sedari tadi hanya menatap beku kearahnya. "Oh, ayolah" sebuah rentangan pelukan dia tujukan kearahku, lalu dia duduk dihadapanku, bahkan sebelum benar-benar memelukku.
"Kamu lupa dengan penyakit lambungmu?" dia bertanya dengan nada sedikit kesal, yah mungkin saja karena dia hanya melihatku intim dengan secangkir kopi, tanpa ada makanan lain yang menemaninya. Tangannya melambai kearah waiters. "Mau makan apa siang ini?" tanyanya seraya membolak balik halaman buku menu. "Hahahaa, biar, biar aku saja yang memilihkan untukmu. Seporsi mie ulang tahun, telur mata sapi setengah masak, jangan terlalu banyak menggunakan merica dan taburi dengan banyak bawang goreng ya, mbak!" kamu tersenyum puas karena tahu benar hidangan itu memang kesukaanku.
"Apa kabarmu?" kamu menatap kearahku.
"Aku rindu." katamu lagi.
Lagi-lagi sebelum aku sempat membalas pertanyaan dan pernyataanmu, seporsi mie ulang tahun dari tangan waiters membuat pembicaraan terhenti sejenak.
"Wah, banyak sekali. Kamu nggak diet 'kan hari ini?. Pokoknya, ini harus dihabiskan."
Tanganmu memegang sumpit dan menyuapkan mie ulang tahun itu dengan cepat. Pekerjaanmu hari ini ditambah cuaca yang sedang hujan, membuatmu lapar, pikirku.
"Rana, aku rindu padamu."
Kamu menatapku dalam dari bangku dihapanku.
Jika rindu, kenapa tidak memilih duduk disampingku saja, kenapa kamu lebih senang duduk dibatasi meja?. Kenapa tidak memelukku sedari tadi. Aku juga merindukanmu.
"Ah, sudahlah, seperti biasa, mari akhiri makan siang kitai dengan secangkir kopi, lagi?" tawamu yang hangat memenuhi rongga ingatanku. Aku tak keberatan tentu saja, aku penggila kopi sama sepertimu.
"Aku ingin ke toilet dulu" ujarku, kamu acuh dan sibuk membolak balik buku menu mencari kopi yang ingin kau seruput.
"Dia itu siapa?" tanya sebuah suara dari luar bilik toilet yang aku gunakan. "Dia Pak Pram, pelanggan tetap restoran ini. Hari ini ulang tahun tunangannya." jawab pemilik suara yang lainnya. Aku hanya tersenyum dalam hati, menyenangkan saja rasanya setiap kali ada orang lain yang tahu aku adalah tunangan Pram.
"Lantas hari ini, dia sedang merayakan apa?. Memesan hidangan mie ulang tahun dengan porsi besar." "Hari ini kalau tidak salah, hari ulang tahun tunangannya. Sehari sebelum hari ini dia selalu memesan seikat bunga dan dia akan berikan diakhir, setelah semua hidangan habis tersaji. Sebentar lagi setelah kopi, dia pasti akan memanggil salah satu dari kita untuk membawakan bunga itu." sebuah suara lain menghela napas. "Ada ya tipe laki-laki romantis seperti itu, saat ini?." Aku menahan diri untuk tidak segera keluar dari bilik kamar mandi dan menikmati obrolan mereka itu. "Tapi, yang aku heran perempuan yang dia sebuut tunangannya itu..." "Hush, udah, yuk kita keluar. Kelamaan dikamar mandi nanti dicari Pak manajer." Aku mendengar obrolan diakhiri dan setelah itu suara langkah tergesa menuju pintu keluar.
Aku pun keluar dari bilikku, "Memangnya kenapa dengan aku?. Seenaknya saja mereka membicarakan aku." Dengan kesal aku keluar dari bilik kamar mandi dan kembali duduk di tempatku semula. Aku melihat Pram masih asik membalas pesan di handphonenya seolah kehadiranku tidak disadarinya.
"Kopiku sudah habis, Rana." Pram menarik napas panjang dan mengulurkan seikat bunga kearahku. Aku yang masih kesal dengan pembicaraan menggantung para waiters tadi hanya diam tak menyambut bunga itu.
"Happy birthday, my dear. love you always." Pram terdiam sejenak, aku melihat matanya berkaca-kaca, dan serta merta dia berdiri. "Aku kembali bekerja dulu, sayang. miss you." tangannya mengusap selinang air mata dan tanpa memeluk ataupun mengecupku yang sedari tadi hanya bisa diam melihatnya, pun hanya bisa terdiam memandangi punggungnya yang berlalu dari keluar dari pintu resto.
"Bunga yang bagus." Ucap sang waiters yang membersihkan meja. "Wangi." Aku menatap marah ke waiters itu, berani sekali dia menciumi bunga yang diberikan Pram untukku. "Dewi, kamu ngapain?" tanya temannya yang satu lagi. "Sudah, lekas rapikan. Aku kasihan melihat Pak Pram. Dia dulu selalu kesini setiap akhir minggu dengan mbak Rana."
"Hei!" aku disini ujarku.
"Tapi sejak dua tahun lalu, Pak Pram selalu kesini sendiri tiap akhir minggu."
"Sendiri? Pram kesini sendiri? Bukankah aku yang tiap akhir minggu harus menunggunya berjam-jam sebelum dia datang?. Alasannya selalu sama, pekerjaan. Aku harus percaya itu, karena dia pasti marah kalau aku cemburu padanya."
"Memangnya kemana, mbak Rana. Yang kamu sebut sebagai tunangannya itu?"
Waiters ini pasti baru, karenanya dia tak mengenaliku.
"Dua tahun lalu, ketika Pak Pram menunggunya disini untuk merayakan ulang tahun tunangannya itu, mbak Rana mengalami kecelakaan. Tabrakan beruntun dan mbak Rana adalah salah satu korban yang meninggal ditempat."
Serasa ada sambaran petir menghantam kepalaku. Aku, Rana diar. Meninggal? kecelakaan? kapan?
Jadi sedari tadi Pram bicara dengan siapa? Cangkir kopiku, bungaku, jangan...jangan dibawa pergi!
Aku berteriak keras-keras, namun tetap saja waiters itu merapikan semuanya. Dia..dia..tak mendengarku.