“Deal?!”
aku menatap wajahnya yang ayu dan uluran tangannya.”Oke!” Chilli menghempaskan
pelukannya ke tubuhku. Aku hanya berdiri mematung, berusaha mengingat lagi
kenapa aku bisa menyetujui permintaannya barusan.Chilli adalah mahasiswi tenar
dikampus. Bukan hanya karena parasnya yang diatas rata-rata,tapi juga karena
prestasi akademisnya yang cukup menonjol. Yang paling aku suka dari Chilli
adalah rambut panjang dan gigi kelincinya. Sehingga aku lebih memilih
memanggilnya Linchi dari pada Chilli. Sebenarnya panggilan Linchi itu sudah aku
berikan padanya sejak kami sama-sama duduk di bangku taman kanak-kanak.
“Gas,lihat!
Lutut Chilli beldalah.” Gadis kecil berkepang dua itu berjalan
terpincang-pincang. ”Kok,bisa? Sini,Bagas kasih obat!” seru anak laki-laki itu
kepada si gadis kecil seraya berlari ke dalam rumah mencari kotak penyimpanan
obat milik sang bunda. ”Aduh,pelih!” si gadis itu berteriak kesakitan sewaktu
cairan obat merah menyentuh lutut kirinya. ”Cengeng!” ledekku mendengar logatnya
cadelnya. ”Kok bisa jatuh? Kamu lari-larian terus,sich.” “Tadi Chilli mau
tangkap kupu-kupu di dekat kembang sepatu itu” ujarnya seraya menunjuk kearah
rimbunan kembang sepatu bunda. ”Diantara tanaman
itu kan ada bekas selokan yang belum selesai ditimbun sama ayah” aku memberi
tahu Chilli seraya menepuk jidad. ”Huahhhh!!..” tangis Chilli akhirnya pecah. ”Kelinci
biasanya lincah menghindari lubang?” ledekku lagi. ”Mulai sekarang,Bagas panggil
kamu Linchi aja ya? Linchi alias kelinci Chilli.” Gadis kecil itu mengusap sisa
air mata dan tertawa memamerkan gigi kelincinya.
“Kamu
melamun lagi?” Chilli menggoyang-goyang tubuhku. ”Nggak “ jawabku
berbohong. Lamunan masa kecil antara aku dan Chilli sering mampu menarikku dari
gravitasi. ”Cieh,yang baru jadian. Mesra banget,kemana-mana selalu berduaan”
suara cempreng Siska memekakan telinga. Chilli hanya membalas sapaan basa-basi
dari Siska dengan tersenyum seraya bersandar dibahuku. Aku agak risih
dibuatnya,namun bukankah aku sudah menyetujui perjanjian kami. Untuk jadi pacar
pura-puranya Chilli di kampus. Semua itu bermula ketika ketua BEM kampus Adika
yang juga berstatus pacar Siska mulai main mata kepada Chilli. Sebenarnya Adika
sudah jauh-jauh hari terpikat kepada primadona fakultas Ekonomi yang sekarang
adalah (katanya) pacarku,Bagas Dirgantara.Bahkan sebelum Adika resmi menjadi
pacar Siska. ”Kalau dia memang naksir kamu,untuk apa dia jadian sama Siska?
Perempuan merak itu.” Aku memang suka menjuluki orang disekelilingku dengan
julukan-julukan yang menurutku serupa dengan perangainya sehari-hari. Burung
merak cocok sebagai julukan Siska yang congkak. Dulu bunda sering berdongeng
sebelum aku tidur tentang beragam satwa,termasuk burung merak yang sombong. Yang
menganggap tidak ada hewan lain secantik dirinya. ”Yang suka sama Adika juga
siapa,Gas?. Makanya aku minta bantuan kamu supaya aku terlepas dari jeratan si
ketua BEM yang terhormat dan si nenek sihir pacarnya itu.” Aku hanya menghela
napas panjang mendengar penuturan Chilli.
"Akhirnya dia telepon!" pekik Lichi kegirangan. Aku sudah bisa menduga itu telepon dari siapa. Pasti dari sang LDR, Nico. Sudah hampir satu tahun Lichi dan Nico menjalin pacaran jarak jauh. Pertemuan mereka satu tahun lalu pada saat festival pertukaran pelajar kampus membuahkan benih-benih cinta dan entah bagaimana, serta siapa yang mengawalinya hingga mereka bisa resmi berstatus sepasang kekasih. Aku ingat mendengar kabar berita itu suatu pagi. "Bagas! Bagasss! Bangun!" Suara lantang Linchi disertai gedoran bertubi-tubi dipintu kamarku membuat mimpi indahku terobrak-abtik begitu saja. "Dibuka saja pintunya, Chili!. Bagas jarang mengunci pintu kamarnya." Samar aku mendengar suara Bunda diantara proses penyatuan raga dan nyawa. "Iya, tante." jawab Linchi yang langsung menyerbu kamarku. "Gas,Bagas! Bangun!." Aku akhirnya menyerah dan duduk bersandar di pinggiran
tempat tidur. ”Kamu kesurupan ya? Jam tujuh pagi!” mataku terbelalak melihat
jarum panjang arloji tangan menunjuk ke angka tujuh. ”Dari tadi malam aku
berusaha mengabari kamu,tapi pesan yang aku kirim semuanya pending. Telepon juga
nggak bisa masuk,kata bunda sedang ada perbaikan di jalur telepon kearah
rumahmu sejak kemarin.” Aku bengong memandang bibirnya yang komat-kamit serupa
membaca mantera. ”Kamu harus kasih ucapan selamat ke aku,Gas!.” “Bukannya ulang
tahunmu sudah lewat dua bulan lalu,ya?.” “Bukan itu,Bagasss!! “ serunya
gemas. ”Aku dan Nico semalam resmi menjadi sepasang kekasih!” pekiknya lagi kali
ini sambil memeluk aku. Lalu secara refleks mendorong tubuhku kebelakang karena
menyadari aku belum gosok gigi, hehehehe. Dan sekarang,sudah satu tahun mereka genap
pacaran.
Masih
dengan wajah merona merah aku melihat Linchi senyum-senyum sendiri membaca
pesan-pesan gombal Nico. ”Mau pulang bareng,nggak?” tanyaku yang sudah cukup
bersabar menanti dia selesai bermesraan selama satu jam. ”kenapa nggak kirim
surat,aja? Bukannya lebih hemat dari pada harus telepon-teleponan begitu?
Toh,sama-sama nggak berasa.” Linchi menatapku sinis. ”Kamu itu kelamaan jomblo
makanya sirik.” “Bisa diulang nggak kata-kata jomblonya? Biar cewek-cewek satu
kampus tahu. Sebenarnya cowok setampan aku ini statusnya masih available.”
Sebuah gelas bekas air mineral terlempar kearahku.” udah,ayo pulang!.” Aku
terkekeh dan merasa menang berhasil membuat Linchi kesal. ”Nich,semalam aku
merekam lagu-lagu ini buatmu!” Linchi memasukan sekeping compact disc ke dalam
tas ranselku. ”Lagu-lagu band indonesia lagi” Jujur saja aku tidak menyukai
lagu-lagu band Indonesia. Menurutku terlalu cengeng dan agak lebay. Terkecuali
lagu-lagu Indonesia yang beraliran jazz atau blues masih menjadi batas
toleransiku indra dengarku. ”Kamu itu anak Indonesia bukan? Tahu dong,kalimat
‘Cintailah ploduk-ploduk dalam negeli’?.” Kontan saja aku dibuatnya ngakak
abis, ”Kangen aku sama kecadelanmu semasa TK dulu” ucapku seraya mengusap-usap
kepalanya. ”Eh,perjanjian pacarannya tidak termasuk sentuhan fisik ya?.” “Idih!
Dimana-mana pacaran itu ya bersentuhan fisik.” “Itukan kalau pacar beneran!”
serunya seraya menjulurkan lidah kearahku. ”Tadi di depan Siska mepet-mepet.Huh!
Apes bener aku. Sudah nggak dibayar,kena omelan melulu” aku pura-pura merajuk.”Aku
kan sudah kasih imbalan,Bagas sayang!” “Imbalan? Apa?” “Rekaman lagu-lagu yang
didalam tas kamu” jawabnya seraya nyengir kuda.
Sampai dirumah aku segera mencari
alat untuk memutar CD pemberian Linchi. Ada sepuluh lagu yang direkam olehnya,namun
aku tidak mendengarkan satu persatu lagu yang direkamnya. Linchi pernah
ngomong,”Paling gampang mengungkapkan isi hati melalui sebuah lagu. Lirik-lirik
didalam lagu membantu kita untuk mengungkapkan isi hati. Sekalipun itu lagu
dangdut,ya nggak jadi soal.” Masalahnya aku tipe orang yang menyukai lagu itu
justru dari keindahan musik dan aransemennya. Karena Linchi sebenarnya,aku jadi
mulai menyukai lagu-lagu Indonesia. Aku juga mencintai produk-produk
Indonesia. Termasuk mencintai Linchi. ”Diakan made in Indonesia” aku terkekeh
sendiri membayangkan wajahnya yang membuatku gemas setengah mati. Salah satu
alasan aku juga kuliah di kampus yang sama dengannya adalah karena aku tidak
bisa jauh-jauh dari kelinci manisku itu. Sebenarnya Ayah ingin aku melanjutkan kuliah
di universitas luar negeri. Entah apakah sebuah kebetulan atau takdir
tuhan,banyak yang mengatakan wajah kami mirip.Tak jarang disangka kakak beradik
oleh orang yang tidak mengenal kami.”Mirip?” gumamku.Aku pernah membaca sebuah
artikel yang mengatakan bahwa salah satu ciri-ciri jodoh kita adalah orang yang
memiliki kemiripan wajah dengan kita. Tapi buktinya,Linchi malah pacaran sama
seseorang nun jauh disana..
*************
Aku terkejut dengan hantaman yang
datang tiba-tiba dari arah belakang.Sesaat aku merasakan pusing yang luar biasa
dibagian kepala. ”Adika!” seruku ketika tahu siapa pelaku pemukulan itu. Adika
dan tiga orang anak kampus lainnya sedang mengepungku. ”Siapa yang suruh kamu
berani pacarin Chili?!” bentak Adika marah. ”Oh,jadi ini wujud aslinya sang
ketua BEM yang terhormat?” ucapku dengan nada yang sangat geram. ”Sudah jangan
banyak omong kamu.Habisin dia!.” Selesai memberikan perintah itu aku
mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Adika dan kawan-kawannya. Seingatku aku
sempat memberikan perlawanan sesekali. Parkiran kampus malam ini memang
kebetulan sepi sehingga Adika bebas melakukan apa yang menjadi rencananya. Aku
tidak ingat siapa yang membawaku pulang kerumah,namun begitu siuman aku melihat
Bunda dan Ayah serta Linchi. Melihat aku sudah siuman Ayah hanya menghela napas
panjang dan berlalu keluar dari kamar yang diikuti oleh Bunda. Mungkin mereka
memberikan kesempatan kepada Chili untuk berbicara berduaan denganku. Beberapa
perban menempel ditangan dan wajahku. Rasa ngilu yang teramat sangat aku rasakan
ketika mencoba untuk duduk tegak.
”Sudah,jangan
bergerak dulu!” Linchi segera membantuku. ”Adika itu keterlaluan,kenapa dia bisa
bertindak brutal seperti ini!.” Aku menatap Linchi,”dari mana kamu tahu kalau
ini adalah perbuatan Adika?.” “Dari satpam kampus yang memergoki kamu setengah
sadar waktu dikeroyok Adika dan teman-temannya. Sekarang Adika ditahan oleh
pihak yang berwajib.Maafkan aku ya,Gas!” Linchi menundukan kepala “Ini semua
gara-gara aku” seketika itu juga air matanya jatuh bercucuran. ”Nggak ini bukan
salah kamu,kok.” “Seharusnya aku nggak mengakui kamu sebagai pacarku,hanya
karena keegoisanku supaya bisa terlepas dari gangguan Adika dan Siska.” “Aku
nggak apa-apa,Linchi!” seruku berusaha tersenyum dan duduk tegak sambil menahan
sakit yang luar biasa pada beberapa bagian tubuh. “Aku hanya bingung sama
kamu.Kenapa kamu nggak bilang saja kalau kamu sudah punya pacar,tapi kalian
beda kota?.” Wajah Linchi semakin muram. ”Aku pamit ya,Gas.Kamu cepat
sembuh,ya. Kalau perlu dengar lagu-lagu yang aku rekam buat kamu,itu obat
mujarab yang bisa sembuhin penyakitmu. ”Aku hanya mengangguk dan melihat Linchi
berlalu dari balik pintu kamar. Aku memutuskan untuk tidur setelah menelan
beberapa pil pemberian dokter untuk mengurangi rasa sakit.
Ternyata
Chili belum pulang dari rumah Bagas. ”Yah,kok nggak didengar lagunya!” Chili
berseru kecewa mengintip dari balik pintu kamar Bagas. ”Harusnya kamu dengar
lagu itu,Bagas!.Beberapa lagu aku cari liriknya untuk mengungkap perasaanku
padamu.” “Chili, taxinya sudah datang.” Suara Bunda mengejutkan Chili. ”Iya
tante,terimakasih.Chili pamit.” Bunda tersenyum melepas kepulangan Chili. Seandainya
saja Bagas tahu,sebenarnya Chili dan Nico sudah putus satu bulan lalu.Ketika
dikantin kampus tempo hari,mereka berjam-jam telepon karena Nico ingin
menjelaskan ke Chili bahwa dia memang sudah benar-benar tidak bisa meneruskan
hubungan jarak jauh mereka selama ini. Sebenarnya Chili berharap,dia bisa
memperkenalkan Nico kepada Adika dan teman-teman lain dikampus. Perasaan itu
ibarat cermin yang memantulkan bayangan serupa apa yang ditangkapnya
bukan?.Apakah cermin perasaan itu kini sedang ada diantara mereka?.Perasaan
cinta yang menyublim,diantara Chili dan Bagas.
note : Pinjem nama Chili, hihihihihi...cewek manis yang selalu menyenangkan...Salah satu cerpen awal tahun, yang idenya ngalir gitu aja, abis liat sepasang muda-mudi gandengan...hehehehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar