................................................
“Jadi?
Kamu bisa sebegitu bodohnya didepan cowok yang baru pertama kali kamu temui?”
Tanya Melati seraya tersenyum lebar. “Apanya yang bodoh?. Aku baru sekali itu
melihat senyum yang...yang...apa ya?” “Yang bikin kamu ‘fall in love for the
first sight’? tanya Melati seolah mengejekku. “Apaan,sich!” rujukku. “Hari ini
kita nggak ada jadwal apa-apa lagi kan di kampus? Aku ada janji sama Edmund.”
Ya semalam akhirnya kami sepakat untuk bertemu lagi pukul sebelas pagi.
“Wah,ada guide yang jatuh cinta sama turisnya.” Lagi-lagi Melati mengejekku
sesuka hatinya. “Terserah,dech! Aku duluan ya,Mel.” Jawabku seraya melangkahkan
kaki menuju parkiran kampus. “Wah,ada yang ngambek,nich. Salam ya,buat Edmund!
Setidaknya aku tahu,ternyata sahabatku normal.” Teriak Melati dari kejauhan.
“Sialan!” sungutku dalam hati.Mestinya tadi aku nggak cerita apa-apa kedia,
termasuk bagian ending yang membuat aku malu setengah mati. Tapi kalo nggak
diceritakan bisa meledak aku.Soalnya perasaan ini makin kuat sekarang.Apalagi
melihat arloji ditangan yang menunjukan kalau sebentar lagi pukul sebelas pagi.
Satu
bbm mampir di room chat ponselku,dari Edmund. Semalam kami sempat bertukar pin.
Ada gambar pemandangan alam yang dilatari sebuah gunung di picture yang dia
pasang.Statusnya bertuliskan ‘terdampar di negeri antah berantah’ dilengkapi
emoticon yang sedang menutup mata. “Huh! Apa dia pikir kalimantan ini nggak
masuk di peta Indonesia?. Nanti kalau dia sudah lihat betapa indahnya Borneo
dia pasti berubah pikiran.” Ucapku dalam hati. “Jadikan kita ketemu jam sebelas
ini?” bunyi bbm Edmund disertai emoticon pamer gigi. “Jadi” balasku singkat.
“Dimana? Yang jelas ya instruksinya. Nggak pake jalan kaki seperti semalem,lho
ya?.” “Islamic Centre,di depan gerbang utama.Aku pake baju biru.” “Biar ga dikasih
tahu pakai baju apa kamu hari ini juga nggak masalah. saya sudah inget wajah kamu.” Balasan terakhir
Edmund harusnya bikin aku yang gampang bad mood ini kesal. Tapi kali ini
berbeda,aku malah merasa senang. Senang? Ya,senang. Ternyata dia mengingat
wajahku. Eits,kelewat gede rasa aku sepertinya.Bukannya di Picture blackberryku
ada fotoku yang narsis terpampang dengan begitu jelas?. Sampai jerawat dipipi
kanan juga ikut mejeng.Buru-buru aku mencari foto yang lebih kalem untuk
mengganti foto yang terkesan menakutkan tadi.Barangkali nanti Edmund melihatnya
lagi. Lho? Kok jadi semua serba harus menurut penilaian Edmund ya? Ada apa ini?
Ternyata
kali ini bukan aku yang harus menunggu Edmund datang.Dia sudah lebih dulu
menunggu didepan gerbang masuk ke Islamic centre. “sudah lama disini?” tanyaku
berbasa-basi. “Lima menit dua puluh tujuh detik” jawabnya sambil melirik ke hp
yang dia pegang. “Bagus,dech.Berarti aku nggak parah-parah banget telatnya.”
Aku tahu saat memberikan jawaban itu Edmund sedang menatap kearahku. “Itu buat
apa?” tanyaku seraya menunjuk ke kamera DSLR yang dia bawa. “Buat ambil gambar-gambar
indah,donk.Tadinya saya pikir mau diajak kemana? Nggak tahunya diajak kesini.”
Tanpa menggubris ocehannya aku melangkah masuk.Aku mendengar jejak kaki Edmund
mengikutiku dari belakang.
”Ly!
Bisa pelan sedikit nggak jalannya?.” Aku menghentikan langkah “Kenapa? Masuk ke
dalam masjidnya juga belum, sudah kecapekan?” “Bukan. Gimana saya bisa potret
tempat ini,kalau kamu terlalu cepat jalannya?.” “Bukannya kamu tadi nggak
tertarik sama tempat ini ya?” tanyaku sedikit ketus. “Memangnya saya ada bilang
begitu,ya?” jawab Edmund cuek,karena sedang bermesraan dengan kamera
ditangannya. “Saya sudah pengen ke tempat ini,kok. Dari awal pertama kali masuk
kota Samarinda. Bangunan ini begitu mencolok dilihat ketika saya melintasi
jembatan mahakam malam itu. Indah!.” Sambungnya lagi. Aku mengalah dan
membiarkan dia asik dengan kameranya. Islamic centre memang begitu indah. Rumah
tuhan bagi kaum muslim ini termasuk Masjid terbesar dan termegah kedua di
indonesia dan di asia tenggara. Banyak pendatang dari luar pulau yang
menyempatkan diri untuk mengabadikan gambar dirinya dilatari Islamic center.
“Kita
bakalan sampai malam nggak,disini?.” “Kenapa?” “Kalau malam begitu
lampu-lampunya menyala saya yakin bisa mendapat gambar jauh lebih indah.
“Boleh. Tapi yakin mau sampai malam?” ini baru pukul satu siang batinku.
“Oya,disini ada tujuh menara.Dari salah satu menara itu kamu bisa melihat kota
samarinda keseluruhan.terutama kota yang diseberang sungai itu.” “Memangnya
yang diseberang sungai itu bukan bagian dari samarinda? Kok,kamu nyebutnya kota
yang diseberang sungai?” tanya Edmund. “Itu juga bagian kota ini,hanya saja karena
dipisahkan oleh Sungai Mahakam dan dihubungkan oleh jembatan Mahakan,warga
lokal biasa menyebutnya Samarinda seberang.Dari Tepian tadi malam kamu juga bisa
melihat kota itu indah dengan lampu-lampunya.” Edmund mengangguk-anggukan
kepalanya mendengar penjelasanku. “Ayo,jalan lagi!” ajakku.
Kami
mulai menyusuri bagian lain dari Islamic Centre. Beberapa kali berhenti dan
mengamati Edmund yang seakan menciptakan dunia sendiri bersama kamera yang dia
pegang.Tapi diam-diam,aku mulai menyukai cara dia setiap akan memotret sebuah
objek. Aku menggelengkan kepala dengan cepat,agar pikiran-pikiran aneh tidak
mengganggu kesadaranku siang ini.“Karena keindahannya, masjid ini sering juga
dipakai untuk foto prewed.” Ujarku. “Oya?” Jawabnya dengan pandangan masih
tertuju ke kamera yang dia pegang.Sesekali tangannya menekan bagian pengaturan
dikamera,yang aku sama sekali tidak memahami untuk apa dia melakukan hal
tersebut. “Tapi tempatnya memang bagus.Walaupun saya bukan muslim saya cukup
tertarik dengan ornamen-ornamen didalamnya. Bisa nggak terasa capek kalau
keliling ditempat seindah ini.” Sambil mengoceh Edmund terus saja berhenti
seenaknya di tempat dia merasa bisa mendapat gambar-gambar bagus dari Islamic
centre. “Sayangnya,saya Cuma punya waktu empat hari disini.” Edmund berhenti
sejenak. “Ly,coba dech kamu berdiri disitu!.” “Aku? Buat apa?” tanyaku polos. “Mau
foto kamu,nanti saya tunjukin kalau hasilnya bisa jadi bagus banget,walaupun
modelnya jutek.” Jawabnya sambil terkekeh. Hhmm...lagi-lagi tawa itu bikin aku
nggak bisa menolak permintaannya.
“Mana
hasilnya,aku mau lihat?” pintaku setelah dua sampai tiga kali Edmund mengambil
beberapa pose kaku dan canggung dariku. Padahal biasanya aku narsis setengah
mati. Namun kali ini aku mati gaya didepan seorang Edmund. “Wah,sepertinya saya
gagal. Tumben hasil fotonya nggak sebagus biasanya? Pasti ini karena modelnya.”
Jawaban yang keluar dari mulutnya membuat mataku melotot. “Kamu yaaaaa....!”
pekikku sambil melempar salah satu sepatu yang aku pakai kearahnya. Dengan gesit
dia menghindar “Yeee... nggak kena!” ucapnya seraya menjulurkan lidah kearahku
dan berlari menjauh.
................................................................
Dari
seberang sana aku dengar suara tawa Melati makin menjadi-jadi. “Cieh...yang
kencan sepanjang siang.” “kencan? Siapa yang kencan?.” Hawa hangat menjalari
pipiku seketika. “Kasih lihat ke aku,donk. Yang mana yang namanya Edmund?”
pinta Melati. “Janganlah,nanti kalau kamu sampai naksir dia bisa repot.” Aku
kenal baik Melati sejak duduk di bangku SMU. Dia itu tipe cewek yang gampang
jatuh cinta. Sampai sekarang ketika kami kuliah di kampus yang sama,aku belum
pernah lihat dia pacaran bertahan lebih dari dua bulan.Bertolak belakang sekali
dengan aku yang sama sekali belum pernah punya pacar. Bukannya belum pernah
sich,hanya saja belum mendapatkan yang pas dihati (modus membela diri
kambuh),hehehehehe.
“Repot
gimana?. Repot menyatukan kepingan hatimu yang hancur berantakan,ya?” ledek
Melati. “Cinta itu indahkan,Ly?.” Tanya Melati lagi. “Iya,indah. Karena begitu
indahnya kamu bisa gonta-ganti pacar semaunya.” Ucapku berusaha membalas
ledekannya. “Manusia sudah ada takdir masing-masing,beibh...Jangan tolak
lagi,tuch.kebaikan tuhan yang sudah menumbuhkan rasa cinta dihati kamu setelah
sekian lama.” Sialan pikirku,malah aku yang balik kena ejekannya.
“Udahan,ya.Beibhh...Ngantuk!.” Ujar Melati mengakhiri pembicaraan. “Oke,bye!”
balasku yang agak bergidik mendengar suara Melati mengucap kata ‘Beibhh’. Para
cowok bisa tergila-gila setengah mati itu dengar kata ‘Beibhh’ dari
mulutnya.Bedanya, aku malah risih.
Pukul
sebelas malam dan belum bisa tertidur,padahal seharian tadi sudah lumayan letih
menemani Edmund berburu gambar.Iseng aku melihat kontak bbm Edmund.Kali ini dia
memasang fotonya sedang duduk di sebuah taman. Tapi statusnya belum di
update.Aku hampir nggak percaya saat lampu di bbku berkedip merah dikarenakan
Edmund mengirimkan bbm buatku. Aku buru-buru read bbm nya. ‘belum tidur? Ganggu
nggak?’ Ada perasaan senang membaca kalimat itu. ‘Belum. Nggak ganggu,kenapa?’
balasku.Aku agak menyesali kenapa harus cepat-cepat membalas bbmnya. ‘Malam
minggunya kemana tadi?’ Pertanyaannya kali ini membuatku kebingungan
menjawabnya. Rupanya ini tadi yang menyebabkan Edmund tidak jadi menunggu sampai
malam untuk mengambil foto Islamic centre. ‘Nggak kemana-kemana?’. Sebelum send
kata-kata itu aku mendeletenya dan menggantinya dengan kalimat ‘cewek kamu
pasti kesepian ini malam. Kamunya sedang berada di negeri antah berantah’
balasku seraya menambahkan emoticon tertawa lebar.
Cukup
lama aku menunggu bbm ku berganti dari huruf ‘D’ menjadi ‘R’. Barangkali dia
sedang bbm-an dengan pacarnya diseberang sana pikirku. Atau jangan-jangan
pertanyaanku tadi garing banget.‘Besok,kita kemana ya?.’ Fiuhhh...ternyata dia
tidak menanggapi bbmku sebelumnya. Ada perasaan kecewa karena berarti aku tidak
mendapatkan jawaban apakah Edmund sudah ada yang punya ataukah masih available.
Tapi bukannya aku juga tadi nggak menjawab pertanyaannya sewaktu dia menanyakan
apa kegiatanku malam ini?. Memangnya aku harus jawab apa? Punya Pacar juga
nggak. Mau bilang nggak kemana-mana rasanya kok gengsi.
‘Besok kita ke Desa budaya Pampang’ balasku.
‘Wah? Memangnya disana ada apa ya?’ tanya Edmund. ‘Kita melihat desa suku asli
kalimantan, suku Dayak.’ Jawabku. ‘Nggak ada yang makan manusia, ‘kan disana?’
emoticon menunjukan wajah ketakutan menyertai. Aku memasang emoticon tertawa
lebar ‘kalau pun ada,dia nggak bakalan doyan makan kamu. Pahit!’ balasku. Kali
ini aku meminta dia datang berkunjung kerumah dari hotel tempat dia menginap.
Karena besok hari minggu Papi punya waktu untuk mengantar kami menggunakan
mobil kesayangannya. Jarak pampang sekitar satu setengah jam ditempuh dari
samarinda. Kasian motorku kalau harus dilariakan kesana. Tapi sepertinya naik
motor berdua Edmund lebih romantis dari pada pergi bersama-sama Papi besok.
Lamunanku dibuyarkan oleh getaran ponsel yang kupegang.‘Apa saya nggak
ngerepotin Papi kamu besok?’ tanyanya. ‘Dari awal datang juga udah ngerepotin’
balasku. Yang hanya dibalas Edmund dengan emoticon melipat tangan didepan dada.
Aku hanya tertawa kecil melihat balasannya itu. Ada yang bener-bener nggak
beres diotakku. Harus segera menginstal anti virus baru di memory otak. Stadium
virus Edmund yang menjalari otakku sudah semakin parah.
to be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar