“Ly,Papi
sepertinya hari ini nggak bisa anterin kalian ke Pampang.Atasan Papi mendadak
ngajak rapat dikantor.” Ucapan Papi disela-sela sarapan pagi membuatku kaget.
”yahh,Papi!.” Gumamku. “Papi ‘kan nggak mungkin menolak ajakan Bosnya dikantor”
sahut Mami menanggapi kekecewaanku. “Bagaimana kalau kalian pake mobil Papi?.
Biar Papi yang naik motor” Papi berusaha membujuk aku. Pampang memang lumayan
jauh dari pusat kota samarinda. Tapi, biasanya Papi harus membawa dokumen yang
banyak sekali setiap kali Bos nya mengadakan meeting dadakan dikantor. “kasihan
Papi” pikirku. “Nggak usah,Pi. Nanti Lily naik motor saja sama Edmund.” “Yakin
kamu?” tanya Mami terlihat cemas. “Yakin,donk” jawabku.
“Ngomong-ngomong
bagaimana si Edmund menurut kamu,Ly?” tanya Papi. “What? Maksudnya apa,nich?
Tiba-tiba pertanyaan aneh keluar dari mulut Papi. “Edmund?” tanyaku balik ke
Papi. “Iya,Edmund anak temen Mami.” Jawab Papi. “Biasa. Nothing special from
him” jawabku sambil mengaduk-aduk teh yang baru mami tuang kedalam cangir biru
dihadapanku,sebagai penetral kegugupanku sewaktu menjawab pertanyaan konyol
Papi. Bertepatan itu pula, wajah Edmund memenuhi otakku. Cowok dengan tinggi
seratus tujuh puluh lebih itu selalu membuatku harus menengadah saat
melihatnya. Apa karena aku kelewat pendek?. “Hmm..aku mungil bukan
pendek,hehehehe.” Batinku membela diri. Belum lagi mengingat Edmund yang selalu
punya kebiasaan menyisir rambutnya kebelakang degan jemari tangan.Membuat
rambutnya yang ikal itu berdiri dengan sempurna (apa sich,ya?).Kemudian caranya
tersenyumnya yang terkadang membuat aku ingin terus membuat garis bibirnya
melengkung keatas.
“Ly!
Lily! Itu piringnya kasih ke Edmund!” Suara Mami seketika membuatku tersadar
dari lamunan. “Edmund?” tanyaku kebingungan. “Hai! Selamat pagi!” sapa sebuah
suara dari sebelah kananku. Aku hanya berani melirik kearah kanan. “Huff..sejak
kapan mahkluk itu keluar dari alam inajinasiku? Apa karena begitu konsentrasi
ngelamunin dia,objek lamunanku itu bisa keluar dan muncul di alam nyata”
pikirku,agak berlebihan sepertinya. “Sejak kapan kamu disini?” aku menarik
napas dalam-dalam menyesali pertanyaan bodoh yang baru saja keluar dari
bibirku. “Sejak lima menit yang lalu,sewaktu kamu lagi bengong mengangin sendok
itu” jawabnya seraya menyambut piring dan sepasang sendok garpu yang aku
ulurkan kepadanya.
“Edmund
betah di Samarinda?” tanya Papi. “Betah om,apalagi ada Lily yang bersedia
menemani” jawabnya. “Huh,jawaban apa itu?” batinku. “Semalam tante cukup lama
menerima telepon dari Mama kamu. Seharusnya kamu nggak perlu menginap di hotel.
Dirumah tante masih ada satu kamar kosong” sambung Mami. “Terimakasih
tante,atas kebaikannya. Tapi Edmund sudah terlanjut reservasi hotel dari
jauh-jauh hari sebelum ke Samarinda” jawabnya sopan. Memang benar masih ada
satu kamar kosong dirumah ini. Aku adalah anak tunggal Mami Papi. “Wah,ini ya
tante yang namanya nasi kuning?” tanya Edmund penuh minat. “Betul. Mamamu
bilang,kamu penasaran mau mencoba makanan ini?.” “Itu ikan apa,tan?” tanya
Edmund lagi. “Kalau di tanah jawa,ini dikenal dengan nama ikan gabus. Tapi
disini disebut dengan ikan haruan.” “Oh,ikan yang mirip ular itu ya?.”
“Hahahaha,bisa saja kamu. Ayo dicicipi.Ini sengaja tante masak begitu tahu kamu
mau main kesini.” Edmund mengambil sepotong ikan haruan dan mencicipinya.
“Wah,luar biasa tante rasanya enak banget. Jujur nich,tan. Biasanya saya nggak
doyan ikan ini. Tapi begitu dicampur dengan bumbu balado buatan tante,rasanya
jadi ‘maknyus’.” Pujian Edmund seraya menirukan gaya pak bodan itu membuat mami
tersipu. “Pinter banget ini orang ambil hati Mami” pikirku. “Sebenarnya itu
bukan Balado,disini itu disebutnya masak habang.” Jelasku padanya. Edmund terlihat
lahap sekali memakan masakan mami
“Wah,apalagi
ini,tante?” tanya Edmund ketika Mami yang dari arah dapur menyodorkan satu
piring penuh berisi sanggar cempedak. “Wangi banget.” Sambung Edmund. “Ini
namanya sanggar cempedak” Jawab Papi. “Om berangkat dulu ya,Edmund. Silahkan
dicicipin Sanggar cempedak buatan tante.Hati-hati ya kalau sampai ketagihan”
ledek Papi. “Lho,bukannya si Om ikutan ke Pampang ya hari ini?” tanya Edmund
padaku. Mami yang sedang sibuk mencuci pirig didapur menjawab, “Om tiba-tiba harus
rapat dikantor,jadi kamu nanti berangkat sama Lily saja berdua.” Aku mengajak
Edmund pindah duduk dari ruang makan ke ruang tamu. “Kenapa ini disebut sanggar
cempedak,Ly?” tanya Edmund. “Sebenarnya sanggar itu nggak Cuma dari
cempedak.Buah Pisang juga bisa dibikin sanggar” jelasku. “Oh,aku ngerti.Jadi
sanggar itu sebenarnya mungkin sejenis Pisang goreng ya?.” “Iya,tumben pinter” ledekku.
“Sanggar itu bahasa lokal warga sini.Bukan sejenis pisang goreng,tapi ya memang
pisang goreng istilah lainnya.”
“Enak
banget rasanya,manis terus juga aromanya wangi.Lebih wangi dari kamu,Ly” Oceh
Edmund. “Memangnya aku buah,kamu banding-bandingkan sama cempedak” jawabku.
“wah,kok ada bijinya ini didalamnya?”. “Itu bijinya bisa dimakan,enak rasanya.”
“Makan biji? Yang bener aja?”. “Cempedak itu buah yang banyak
manfaatnya.Bentuknya seperti buah nangka,tapi wanginya beda. Buahnya bisa
dimakan begitu saja atau dijadikan sanggar.Kulitnya biasanya direndam air garam
beberapa minggu, setelah dikupas bagian luarnya dan dipotong persegi.Nanti
setelah itu bisa digoreng atau ditumis dengan bumbu.Rasanya enak mirip daging
ayam.Bijinya biasanya dikumpulin Mami untuk direbus ditambahkan sedikit
garam,bisa dimakan jadi camilan.Nah,ada juga beberapa yang bisa mengolah
daunnya cempedak menjadi sayur” jelasku panjang lebar.”Hahahaha,bener-bener ya
kreatifnya orang kalimantan.” Jawab Edmund,yang entah kagum atau sebaliknya.
Setelah
pamit ke Mami,tepat pukul dua belas siang aku dan Edmund berangkat ke desa
budaya Pampang.Kami tiba tepat satu jam,sesuai perkiraanku.Udara hari ini cukup
mendukung.”Kita kearah mana ini,Ly?.” Tanya Edmund setelah kami melewati gapura
bertuliskan ‘Selamat datang di objek wisata Desa budaya Pampang’ “Masuk kedalam
dulu sampai kita lihat lamin!.” “Lamin? Apa itu?.” “Lamin itu artinya rumah.”
“Unik juga ya bahasa dan istilah-istilah di Borneo ini” ucap Edmund. “Parkir
disini,aja!.Kita lanjut jalan kaki masuk
ke dalam kearah lamin. Tempat biasanya pertunjukan tari-tarian
diselenggarakan.” Jawabku sambil melirik kearloji di pergelangan tangan.”Masih
ada waktu setengah jam lagi.” Pikirku. Di desa budaya Pampang setiap hari
minggu warga setempat mengadakan hiburan untuk menyambut pendatang.
“kok,bisa
pemukiman dayak ini dijadikan tempat wisata?” tanya edmund seraya menyiapkan
kamera DSLR nya. “Sebaiknya itu kamu simpan dulu,dech!” ucapku seraya menunjuk
kearah kamera yang dia pegang. “Kenapa? Bukannya banyak hal yang bisa
diabadikan disini?.” “Disini nggak boleh ambil foto sembarangan. Kamu harus
bayar setiap kali mau ambil gambar. Paling murah dua puluh lima ribu,paling
mahal lima puluh ribu” aku berusaha memberikan penjelasan kepada turis satu
ini. “Gila! Serius?.” Edmund terkejut mendengar penjelasanku barusan.
“Ya,dicoba aja,kalau kamu nggak percaya.” “Kenapa baru ngomong sekarang?
Percuma dong,aku bawa kamera kesini.” “Kita nonton pertunjukannya dulu dech!”
ajakku begitu melihat banyak pendatang yang mengisi liburan hari minggunya mulai
memasuki Lamin utama tempat pertunjukan tari-tarian akan dimulai. “Kamu tetap
bisa ambil fotonya gratis,kok.Tapi pake beginian.” Ucapku sambil menunjukan
ponsel yang kupegang.Edmund hanya menghela napas. “Mana bagus hasil gambarnya
kalau pake begituan.Tapi ya sudahlah dari pada nggak ada dokumentasi sama
sekali.”
Pertunjukan
tari-tarian dimulai,aku dan Edmund memilih duduk di bagian depan. Agar
memudahkan Edmund mendokumentasikan pertunjukan hari ini. “Wajah mereka kalau
dilihat mirip wajah tionghoa ya?. Lihat yang itu,matanya sipit sekali.” “Mereka
ini suku dayak Apokayan dan Kenyah.dahulu mereka mendiami wilayah
malaysia,namun setelah Malaysia merdeka mereka yang cinta Indonesia memilih
keluar dari wilayah Malaysia.Berkelana bersama kelompoknya.Berpindah-pindah
dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.Kehebatan mereka bercocok
tanam menjadikan mereka mampu bertahan hidup dan merupakan keunikan tersendiri
dari rumpun dayak lainnya.” Jelasku. Suara Sampe (alat musik suku dayak yang
mirip kecapi) mengalun mengiri tari-tarian yang ditarikan dengan apik oleh para
gadis-gadis dayak. Ada juga tarian dari kepala suku dan pemuda-pemuda dayak
yang memperlihatkan tarian keperkasaan mereka saat berperang.
“Nich,buat
tante Agnes.” Aku menyerahkan beberapa rangkaian manik-manik berbentuk
gelang,gantungan kunci dan tempat tissue yang aku beli dari warga sekitar ke
pada Edmund. “Kamu repot-repot,Ly? Nantikan aku bisa beli sendiri.” Jawab
Edmund terkejut begitu tahu manik-manik yang aku beli tadi buat
mamanya.Kerajinan manik-manik merupakan ciri khas dari warga dayak. Harga
kerajinan ini pun bervariasi,tergantung dari manik-manik yang dipergunakan.Ada
manik-manik yang asli dibuat dari batu biasanya dijual dengan harga relatif
mahal.Sebelum pulang Edmund sempat berfoto menggunakan pakaian adat dayak,aku
dipaksa untuk menemaninya berfoto. Aku memakai baju adat dayak wanita dan
Edmund memakai baju adat dayak pria. Aku merasa canggung saat tangannya
melingkar di bahuku,sedangkan dia dengan tampang cuek berpose tanpa
memperdulikan aku. Beberapa orang yang berdiri menanti berfoto tersenyum-senyum
penuh arti.Beberapa malah bersiul meledek kami. Ada yang terang-terangan
berkomentar kalau kami adalah sepasang kekasih yang serasi.
Dia juga rela membayar agar bisa berfoto
dengan wanita yang memiliki telinga panjang.Telinga panjang memang menjadi
salah satu ciri khas suku dayak.Semakin panjang telinganya semakin tinggi
kastanya dimasyarakat dayak setempat. Untungnya keturunan-keturunan dayak zaman
sekarang sudah diberikan kebebasan untuk memilih,mau memanjangkan telinga atau
tidak.Sebagai anak perempuan keturunan dayak,aku bukannya tidak mau melanjutkan
tradisi tersebut. Tapi rasanya kurang sesuai mengingat perkembangan zaman yang
semakin pesat.Mungkin hal ini juga yang nantinya akan menjadikan telinga
panjang suku dayak akan menjadi sejarah.
Kami
tidak langsung pulang,Edmund mengajakku ke Tepian.tempat awal pertama kali kami
bertemu malam itu.Angin sore tepian begitu sejuk,Edmund menyodorkan satu buah
minuman dingin kepadaku.Kami duduk bersampingan sambil menghadap kesungai
melihat kota samarinda seberang yang terlihat sibuk disore hari.Matahari yang
perlahan tenggelam membuat suasana begitu berbeda.”Nggak terasa,besok aku sudah
harus kembali pulang ke Surabaya.Kapan-kapan kamu main ya ke kotaku,nanti aku
ajak kamu jalan-jalan juga.” Edmund memecah kesunyian diantara kami.
“Sebenarnya masih banyak tempat yang belum sempat aku ajak kamu untuk
mengunjunginya.”Edmund tertawa “Aku nggak menyangka ada begitu banyak tempat di
samarinda yang begitu indah.Harusnya aku bisa lebih lama lagi disini,mumpung
ada yang berbaik hati mau nganterin aku.” Ucapnya sambil menyenggol tubuhku.Aku
menoleh kearahnya dan menikmati senyumannya, yang begitu menghangatkan hati.
Entah
siapa yang mengawalinya,tiba-tiba tangan kami saling bergenggaman satu sama
lain.Suara adzan magrib yang lamat-lamat terdengar dari kejauhan.Burung-burung
yang terbang tergesa-gesa ingin pulang dan senja yang menggelap menghadirkan kesunyian
diantara bisingnya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. “kapan ya,aku bisa
kembali ke kotamu lagi?” tanya edmund.”Kamu pasti akan kembali lagi
kesini.Pasti!” jawabku begitu yakin. Kalimantan timur mempunyai mitos
tersendiri,mengenai orang-orang yang pernah singgah dan meminum air sungai
Mahakam.Mitos itu berkata,bahwa siapa saja yang sudah pernah meminum air sungai
Mahakam akan kembali lagi menginjakan kaki di bumi Borneo. Banyak yang tidak
percaya,tetapi banyak juga yang mengakui kebenaran mitos itu setelah kembali
lagi dan lagi bahkan ada yang kemudian memilih menetap dikota ini. “Kamu lagi
ngelamunin apa,sich?” Edmund membuatku tersadar. “Oh,nggak.” Jawabku. “Kamu
sudah punya pacar,Ly?” tanya Edmund.
Aku
tidak segera menjawab pertanyaannya tapi aku berbalik bertanya kepadanya.
“Kalau kamu sendiri udah punya pacar,belum?.” “Wah,jadi saya yang diintrogasi!”
Edmund tertawa sesaat. “Saya belum punya pacar,Ly. Kamu mau tahu apa penyebab
utama yang membuat saya mau datang ke Kalimantan?” dia bertanya kembali seraya
memandang wajahku. Jujur aku jadi agak nervouse dibuatnya. “Pemandangannya”
jawabku. “Kamu ‘kan hobinya foto-foto” sambungku. “Kamu salah. Saya memang hobi
fotografi, tapi ada sesuatu yang lebih menarik dari pada hunting gambar –
gambar indah.” “Apa,dong?” “Kamu!. Masih ingat beberapa bulan lalu,Mami kamu
pernah kirim foto – foto keluarga kamu ke Mama saya?” tanya Edmund yang aku
jawab dengan anggukan kepala. “Dibalik indahnya pemandangan alam yang melatari
foto-foto kalian,ada senyum seseorang di foto itu yang ingin saya lihat secara
langsung. Sekarang saya lagi didekat pemilik senyum itu.” Kalimat Edmund
barusan membuat degub jantungku berpacu. Seperti inikah cinta itu.
“Kalau
kamu belum punya pacar,maukah kamu jadi pacar saya,Ly?” Pinta Edmund. Aku hanya
mengangguk mengiyakan permintaan dia. “Beneran,Ly?” tanya Edmund lagi. Semburat
kebahagiaan terpancar dari wajah pangeran tampan didepanku. Cupid sedang
memain-mainkan lonceng di dua bilik hati kami. Panahnya telah membius kami
dalam cahaya cinta. Waktu menunjukan pukul dua belas malam lewat satu menit.
Tepat ketika Mami,Papi dan juga ada Melati menyusul kami ketepian. Ada kue yang
diramaikan oleh lilin-lilin yang menyala yang sedang dipegang Melati. “Happy
birthday my best friend” ucapnya, seraya menyodorkan kue yang dia pegang
kehadapanku agar aku tiup lilinnya. “Make a wish dulu,sayang” bisik Edmund di
sampingku.
Aku
memejamkan mata dan mengucapkan doa demi doa. Aku berterima kasih pada Tuhan
diatas sana,karena telah memberiku hadiah yang begitu indah di ulang tahunku
kali ini,hadiah itu bernama Cinta.Aku berharap semoga cinta yang tercipta
terpisah oleh jarak ini bisa indah selamanya. Cinta tidak pernah datang diwaktu
yang salah,Cinta selalu datang diwaktu yang tepat. Buatku setelah dua puluh
tahun menanti kehadiran cinta tidaklah sia-sia,karena karena penantian itu aku
akhirnya menemukan orang yang tepat. Bagiku Edmund adalah orang yang tepat,
pangeranku dari negeri seberang,yang rela menempuh jarak berjam-jam untuk
menemui aku disini. Pangeran yang selalu tersenyum tiap kali aku cemberut atau
pun kesal.
Aku
membuka mata dan meniup lilin – lilin yang menari dibelai angin malam Mahakam.
Aku bersyukur dikelilingi oleh orang – orang yang ku sayang dimalam pertambahan
usiaku kali ini. Ada senyum Papi,Mami,sahabat terbaikku Melati dan Pangeran
Edmundku. “Itu apa yang melompat-lompat,Om?!” Edmund setengah berteriak sambil
menunjuk ke arah sungai Mahakam. “Itu Pesut.Ikan Pesut!” Papi juga menjadi
begitu antusias. Benar ada sepasang Ikan Pesut sedang melompat-lompat,seolah
sedang bercanda. Aku melarang Edmund yang ingin mengabadikan gambar Pesut
menggunakan kameranya. “Jangan di foto. Biar ingatan kita saja yang
mengabadikan,bahwa kita pernah melihat Pesut Mahakam sedang bercanda.”
Ada
mitos yang mengatakan Pesut akan muncul dimana ada perasaan cinta yang timbul.
Terimakasih Tuhan, Engkau telah menunjukan bahwa apa yang kami satukan atas
nama cinta malam ini adalah sebuah perasaan yang benar-benar tulus dengan
kehadiran sepasang Pesut. Aku merasakan Edmund menggenggam jemariku erat. “Aku
akan selalu kembali,tunggu aku disini ya,sayang.” Aku hanya mengangguk perlahan
dan dalam hati aku bergumam “Aku akan senantiasa menunggumu, Pangeran hatiku
yang selalu berbicara bahasa Indonesia dengan medok logat jawanya” Aku mengulum
senyum dan membalas genggaman tangan edmund dengan lebih erat. Aku mendengar
ringtone pesan masuk ponselku berbunyi berkali-kali,mungkin dari para sahabat
yang mengucapkan selamat atas pertambahan usiaku. Lagu A thousand years
berulang terdengar setiap kali ada pesan berebut memenuhi kotak inbox ponselku.
....And
all along i belived i would find you (dan selama itu aku yakin aku akan temukan
dirimu)....Time has brough your heart to me (Waktu telah membawa hatimu
padaku)....I have loved you for a thousand years (Aku telah mencintaimu ribuan
tahun)....I’ll love you for a thousand more (Aku kan mencintaimu ribuan tahun
lagi)....
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar