Rabu, 27 Agustus 2014

Seporsi mie ulang tahun

Menunggunya kembali, hari ini, disebuah resto kecil dengan aroma kopi yang membius rangka kepala, sehingga isi didalamnya bisa menikmati berjam-jam menunggu tanpa pekikan bosan.

Akhirnya sosok tubuh yang aku kenali itu muncul juga. "Maaf, telat. Pekerjaan menumpuk, dan..." Sebuah tawa lebar mengakhiri alibinya, melihatku yang sedari tadi hanya menatap beku kearahnya. "Oh, ayolah" sebuah rentangan pelukan dia tujukan kearahku, lalu dia duduk dihadapanku, bahkan sebelum benar-benar memelukku.

"Kamu lupa dengan penyakit lambungmu?" dia bertanya dengan nada sedikit kesal, yah mungkin saja karena dia hanya melihatku intim dengan secangkir kopi, tanpa ada makanan lain yang menemaninya. Tangannya melambai kearah waiters. "Mau makan apa siang ini?" tanyanya seraya membolak balik halaman buku menu. "Hahahaa, biar, biar aku saja yang memilihkan untukmu. Seporsi mie ulang tahun, telur mata sapi setengah masak, jangan terlalu banyak menggunakan merica dan taburi dengan banyak bawang goreng ya, mbak!" kamu tersenyum puas karena tahu benar hidangan itu memang kesukaanku.

"Apa kabarmu?" kamu menatap kearahku.
 "Aku rindu." katamu lagi.  
Lagi-lagi sebelum aku sempat membalas pertanyaan dan pernyataanmu, seporsi mie ulang tahun dari tangan waiters membuat pembicaraan terhenti sejenak.
"Wah, banyak sekali. Kamu nggak diet 'kan hari ini?. Pokoknya, ini harus dihabiskan."
Tanganmu memegang sumpit dan menyuapkan mie ulang tahun itu dengan cepat. Pekerjaanmu hari ini ditambah cuaca yang sedang hujan, membuatmu lapar, pikirku.

"Rana, aku rindu padamu." 
Kamu menatapku dalam dari bangku dihapanku.
Jika rindu, kenapa tidak memilih duduk disampingku saja, kenapa kamu lebih senang duduk dibatasi meja?. Kenapa tidak memelukku sedari tadi. Aku juga merindukanmu.

"Ah, sudahlah, seperti biasa, mari akhiri makan siang kitai dengan secangkir kopi, lagi?" tawamu yang hangat memenuhi rongga ingatanku. Aku tak keberatan tentu saja, aku penggila kopi sama sepertimu. 
"Aku ingin ke toilet dulu" ujarku, kamu acuh dan sibuk membolak balik buku menu mencari kopi yang ingin kau seruput. 

"Dia itu siapa?" tanya sebuah suara dari luar bilik toilet yang aku gunakan. "Dia Pak Pram, pelanggan tetap restoran ini. Hari ini ulang tahun tunangannya." jawab pemilik suara yang lainnya. Aku hanya tersenyum dalam hati, menyenangkan saja rasanya setiap kali ada orang lain yang tahu aku adalah tunangan Pram. 

"Lantas hari ini, dia sedang merayakan apa?. Memesan hidangan mie ulang tahun dengan porsi besar." "Hari ini kalau tidak salah, hari ulang tahun tunangannya. Sehari sebelum hari ini dia selalu memesan seikat bunga dan dia akan berikan diakhir, setelah semua hidangan habis tersaji. Sebentar lagi setelah kopi, dia pasti akan memanggil salah satu dari kita untuk membawakan bunga itu." sebuah suara lain menghela napas. "Ada ya tipe laki-laki romantis seperti itu, saat ini?." Aku menahan diri untuk tidak segera keluar dari bilik kamar mandi dan menikmati obrolan mereka itu. "Tapi, yang aku heran perempuan yang dia sebuut tunangannya itu..." "Hush, udah, yuk kita keluar. Kelamaan dikamar mandi nanti dicari Pak manajer." Aku mendengar obrolan diakhiri dan setelah itu suara langkah tergesa menuju pintu keluar.

Aku pun keluar dari bilikku, "Memangnya kenapa dengan aku?. Seenaknya saja mereka membicarakan aku." Dengan kesal aku keluar dari bilik kamar mandi dan kembali duduk di tempatku semula. Aku melihat Pram masih asik membalas pesan di handphonenya seolah kehadiranku tidak disadarinya. 
"Kopiku sudah habis, Rana." Pram menarik napas panjang dan mengulurkan seikat bunga kearahku. Aku yang masih kesal dengan pembicaraan menggantung para waiters tadi hanya diam tak menyambut bunga itu.

"Happy birthday, my dear. love you always." Pram terdiam sejenak, aku melihat matanya berkaca-kaca, dan serta merta dia berdiri. "Aku kembali bekerja dulu, sayang. miss you." tangannya mengusap selinang air mata dan tanpa memeluk ataupun mengecupku yang sedari tadi hanya bisa diam melihatnya, pun hanya bisa terdiam memandangi punggungnya yang berlalu dari keluar dari pintu resto.

"Bunga yang bagus." Ucap sang waiters yang membersihkan meja. "Wangi." Aku menatap marah ke waiters itu, berani sekali dia menciumi bunga yang diberikan Pram untukku. "Dewi, kamu ngapain?" tanya temannya yang satu lagi. "Sudah, lekas rapikan. Aku kasihan melihat Pak Pram. Dia dulu selalu kesini setiap akhir minggu dengan mbak Rana." 

"Hei!" aku disini ujarku.
"Tapi sejak dua tahun lalu, Pak Pram selalu kesini sendiri tiap akhir minggu."
"Sendiri? Pram kesini sendiri? Bukankah aku yang tiap akhir minggu harus menunggunya berjam-jam sebelum dia datang?. Alasannya selalu sama, pekerjaan. Aku harus percaya itu, karena dia pasti marah kalau aku cemburu padanya."

"Memangnya kemana, mbak Rana. Yang kamu sebut sebagai tunangannya itu?"
Waiters ini pasti baru, karenanya dia tak mengenaliku.
"Dua tahun lalu, ketika Pak Pram menunggunya disini untuk merayakan ulang tahun tunangannya itu, mbak Rana mengalami kecelakaan. Tabrakan beruntun dan mbak Rana adalah salah satu korban yang meninggal ditempat."

Serasa ada sambaran petir menghantam kepalaku. Aku, Rana diar. Meninggal? kecelakaan? kapan?
Jadi sedari tadi Pram bicara dengan siapa? Cangkir kopiku, bungaku, jangan...jangan dibawa pergi!
Aku berteriak keras-keras, namun tetap saja waiters itu merapikan semuanya. Dia..dia..tak mendengarku.




Sabtu, 23 Agustus 2014

Menyesali kenangan?

Adakah yang masih belum jelas 
Dan, selalu saja menyesali kenangan?
Hei, penikmat alam dan semua ciptaan Tuhan.
Memijak dibumi ini bukan semata untuk menggerutu.
Karena, tidak semua harus selalu menuruti maumu.
Jadi, jangan salahkan kenangan-kenanganmu
yang pahit dan menyesakan rongga dadamu.
Sebab, kelak satu waktu 
kamu akan bersyukur memiliki kenangan-kenangan itu,
terutama, jika...Orang-orang yang ada didalam kenanganmu
Telah tidak satu pijakan lagi dibumi, bersamamu.

Note  : Agak absurd tulisan saya kali ini.

Mencintai Dengan Sama

Entah pergi kemana Tuan,
rindu yang biasanya menggelayuti hatimu dulu.
Sedangkan langit kita tak pernah bersalju,
lantas kenapa sikapmu menjadi beku?

Aku selalu merindukan masa itu
dan tidak pernah berubah hingga pergantian waktu 
Aku masih mencintai dengan sama,
Tuan yang pernah merekamkan suaranya di voice note
dengan kantuk yang teramat berat dan
 memintaku untuk tidur lagi.

Tuan, aku ingin kamu tahu.
Bahwa bukan perkara mudah,
memasuki kehidupan orang lain,
lalu acuh dan meninggalkannya begitu saja.
Karena, sisa cangkir kopi yang pernah kuseduh untukmu
masih belum pindah dari tempatnya dulu
Dia masih berada dimeja tamu, ruang ingatanku.


Sebuah lensa, mataku.


Dalam sebuah buku aku tuliskan gelisah dan segenap takutku
Disisipi impian menggunung dan doa-doa yang dipoles oleh segenap harapan.
Apa yang bisa lagi aku lakukan selain menikmati segala hal yang ada.
Meski tak setiap waktu kata cinta akan semanis madu lebah hutan.
Namun rindu cukuplah membuat hati merasakan manis merah jambu.

Hal yang paling kutakutkan adalah,
suatu hari aku meyaksikan derasnya linangan air
Yang mengalir dari sebuah lensa yang merekammu selama ini, mataku.
Bukankah kematian adalah hak kita sejak dilahirkan?
Namun, hal itu masih saja menjadi menakutkan. Apa kamu akan takut?

Entah, apa yang akan aku katakan kepada orang-orang itu.
jika memang aku yang harus menjadi saksi kepergianmu lebih dulu.
Sebagai apa aku akan memperkenalkan diriku, sahabatmu?
Ahh, aku berharap bisa menjadi lebih dari itu.
Namun, aku tahu akan ketidaksiapanku.
Menghadapi peristiwa itu sebagai apapun aku saat itu bagimu.
karenanya, janganlah pergi mendahuluiku.

Note : Agustus tersisa tidak sampai hitungan sepuluh jari lagi.. Cepat sekali..


Senin, 11 Agustus 2014

Still about you

Aku menemukan banyak diriku disetiap amarahmu.
Aku tak pernah habis pikir, ada saja yang kau ungkap.
Seakan persoalan mencintaiku, kini menjadi pilahan.
Bagian menguntungkan dan bagian tidak menguntungkan.

Aku mungkin terlalu banyak bicara,
tapi bukankah sebelum kita bertemu muka,
kata-katalah yang membuat kita jatuh cinta?

Atau...semuanya harus berubah?


Note : Aku masih menyukai bagian dimana aku bisa mengecup kedua kelopak matamu.

Caraku berdialog denganmu

katamu aku romantis,
ahh...yang benar saja?
Aku hanyalah pengeja kata-kata rumit 
Yang tidak seorang pun membaca tanpa mengerenyit.

Lagi pula, terkadang mereka-mereka itu terlalu naif,
Menyangka tulisanku adalah semata-mata tentang aku.
Hei..aku ini pengamat ulung
yang bisa menceburkan diri ke kehidupan siapa saja
lantas aku tuang dalam cerita pragmen buta


Apa kamu pernah mencoba
bertukar ingatan?
Ya, kita dinamakan manusia karena memiliki kemampuan mengingat.
Meski seiring usia nantinya, ingatan itu akan menguap.

Ternyata rindu telah mampu membahasakan mata
Genangan kenangan tumpah ruah berkayuhkan senyum terpaksa.
Apa yang (masih) kau ingat?
Tentang dirimu? tentang diriku? tentang kita?

Maaf, aku kali ini tidak lagi menjadi bijaksana.
Lalu aku bertanya pada sang nurani, sewujud apa rupa bijaksana.

Aku tertawa lagi,
memunguti satu-satu rindu yang berserakan.
kau selalu begini, anginmu meniup daunku rindu tua kecoklatan milikku berjatuhan.


Minggu, 10 Agustus 2014

Saat jatuh Cinta

Saat jatuh cinta, semua hal tampak sempurna
dan kita sibuk menghitung satu persatu 
kesempuranaan itu.
seolah kita lupa, yang kita cintai ini,
masih berwujud manusia bukan seorang malaikat surga, yang tentu saja tiada sempurna.

Lantas..
Ketika waktu membilas cinta 
menyisakan hanya serpihan komitmen disana.
Kita akan saling tikam menikam kata dan berkata-kata
seolah yang paling bijak
kita akan saling menghakimi dan mencari-cari
setiap lengkungan ketidaksempurnaan yang kemarin hari kita lupakan.
Saat jatuh cinta.

Selasa, 05 Agustus 2014

Mengertikah Kamu, Tuan?

Kita mengerti apa yang kita bicarakan
Lalu kita menjadi tuli dan buta 
Kita mengerti apa yang membahagiakan
Lalu kita berlari dan memperebutkan
Kita mengerti arti air mata
Lalu masih saja kita bermain tikam-tikaman
Kita mengerti arti kesepian
Lalu kita membungkus rapat-rapat kenangan untuk diperbincangkan


Kenapa?
Tidak perlu menjadi tuli, saat mendengarkan kata-kata yang benar, tentang kita.
Tidak perlu menjadi buta untuk melihat kepura-puraan yang kita sandiwarakan.

Mengapa?
Tanpa bersama pun bahagia akan bisa kita temukan.
Sekali waktu aku tlaktir kopi dan mari kita berdamai bercerita, apa sebenarnya bahagia itu.

Karena?
Goresan luka tidak akan begitu saja menghilang, Sayang.
Jadi waktu kita yang semakin sedikit tersisa ini, cobalah kita relakan untuk saling membiarkan.
Ya, membiarkan dari masing-masing kita bahagia, meski tidak lagi bersama.

Dimana?
Setiap kita masih punya kesempatan untuk bahagia 'kan?
Jadi tidak usah saling menghibur dengan kenangan usang agar kita dapat sehari lagi bertahan.
Lepaskan, Sayang. Kita tidak akan kesepian. Tuhan punya banyak sketsa yang bisa kita mainkan.
Meski pemeran utama dihidupmu bukan lagi aku dan sebaliknya.


I'm lucky? May be


Benarkah pernah ada aku disitu?
Pada tawa-tawa yang terekam berlembar-lembar foto.
Pada kepala yang terangkat angkuh dan tangan yang menyambut gandenganmu ditiap-tiap perjamuan dan pesta-pesta yang kita hadiri berdua.
Lalu tindakan-tindakan bodoh, seperti mengelap ujung bibirku dengan tissue,
mengusap kepalaku sesekali, membenahi gaun yang kupakai ketika tersingkap.
Dan..semua mata akan memandangmu dan menilaimu dengan mata berbinar.
Lalu...mereka akan menyebutku, wanita beruntung..
Aku beruntung, memilikimu.. 
Tampan, muda, berpendidikan, yang lengannya ingin sekali dimiliki
oleh mata-mata wanita diseberang sana untuk bersandar.
Ahhh...aku muak...
Rasanya ingin bertukar tempat, lalu mata-mata itu akan berkata
aku bodoh, tak tahu diuntung..
Ahhh...aku muak


Untuk apa?

Sebab..bukan untuk dipertanyakan lagi bukan?
Kesepakan pisah itu terus saja diulang-ulang.
Pisah ya pisah saja..
Untuk apa masih dibalut remah resah?
Bukankah lebih mudah berpisah dari pada mengusahakan bertemu?

Pada semesta yang kau ciptakan,
aku tidak lagi berperanan apa pun disana.
Pada skenario yang kau rekam,
aku pun tak hapal satu bait pun dialognya.
Jadi untuk apa terlalu dipaksa-paksa?
Demi pencitraan yang tak kunjung usai.
Untuk apa?
Tanya sajalah pada hatimu.
Apa kau takan menjadi lelah untuk berpura-pura.
Sementara disini aku sekarat dan mencoba menarik napas 
dalam kubangan drama yang kau buat-buat.

Sebab..Cinta tak berarti bersampingan.
Toh, bersampingan pun tanpa cinta.
Lalu, untuk apa?
Ya, untuk apa?. Tanya dan temukan jawabannya pada hati kecilmu.



Senja Berlalu

Aku membaca pelangimu
yang pendarnya meremang satu-satu
lalu menghilang begitu saja bagai tersapu.

Ada ragu untuk berlari lagi ke masa itu.
Dimana berpuluh surat tak terkirim telah menyimpanmu.
Rapat dan begitu dalam, di bekas kaleng kue sagu.

Karena bagaimana akan tersampaikan surat- surat itu,
Jika harga prangko berpuluh ribu
Takan mampu mengirim surat tanpa alamat yang dituju.

Kamu, Tuan yang kurindu.
Dimanakah keberadaanmu?
Adakah awan akan berbaik hati memberi tahu?
Pada sepasang mata yang memandangnya setiap senja berlalu?
Aku...Rindu..

Sabtu, 02 Agustus 2014

Absurd


"Pada akhirnya orang-orang yang jatuh cinta akan kembali kepada Tuhan."
"Karena sejauh apapun dia mencari pada akhirnya dia hanya bisa meminta."
( Mas Gun )

Ya, memangnya kita ini siapa?
Merasa sombong hanya pada mata manusia.
Giliran ditelanjangi di penghujung malam oleh kesendirian 
Kita pun tak kuasa menahan linangan air mata,
Apalagi ketika menyadari kekuatan kita tak mampu berbuat apa-apa.

Note : Ini temanya apa ya?
Kok, ya nelangsa banget.

Tanyakan Saja

Seberapa banyak yang kuat kita ingat sendirian?.
Tidak akan sebanding dengan banyaknya
Hal yang terjadi dan kita alami, bukan?.

Relakanlah yang telah diusaikan oleh waktu.
Setidaknya, sisa-sisanya,
masih bertahan dihati orang lain yang pernah kita cinnta.

Hahahaha, tidak percaya?
Tanyakan saja padanya.

Jumat, 01 Agustus 2014

Skenario Tuhan

Menjelang pagi. Masih tak ada dialog, hanya terus diganggu pembicaraan monolog - DIK

Hari ini Tuhan tertawa lebar,
Skenarionya telah berhasil aku mainkan dengan benar.
Melihatmu berlalu hanya dengan pandangan nanar,
Tak ada sapa apa lagi kata menahanmu yang mampu terlontar.

Hari ini Tuhan Menugasiku dengan skenario edan,
Aku harus mati-matian menahan gumpalan kerinduan,
Tanpa boleh sedikitpun aku utarakan,
Dan hanya boleh sesekali melihatmu dari sisi yang berlawanan.

Oh..Tuhan, ini harus sampai kapan?

Dia


Dia akan kau baca entah pada waktu pabila.
Dia akan kau nikmati mungkin ketika yang dinamakan terlambat telah tiba.
Dia akan kau mengerti saat ucap pisah telah terpatri.
Dia akan kau sayangi ketika kering sudah rasa dihatinya.
Dia akan kau cintai ketika tidak bersisa lagi titik rindunya padamu.
Dia akan kau tangisi ketika kelak kemudian kau membuka jendela pagi,
tanpa sapa dan tegurnya yang kerap kali kau benci.
Dia...

Tentang Siapa, apa dan...

Pernahkah sebuah lagu membuatmu tersenyum,
terdiam untuk sejenak dan kemudian merasakan
guliran kenangan-kenangan masa lalu 
menyeruak pelan memenuhi pori-pori ingatan.

Pahit - manis
Suka - duka
Tawa - air mata
Menemukan - meninggalkan


Tentang siapa saja disana.
Tentang apa saja yang mampu diraih.
Tentang seberapa jauh sudah tempuh sang kaki.
Tentang semua hal dan tentang pemenuhan janji untuk orang-orang yang terkasih.

Terimakasih, Tuhan.
Atas kesempatan yang pernah singgah dan kesempatan yang masih terjaga untuk dicipta.

Note : Welcome My month...
Agustussssssss....