Senin, 11 Februari 2013

PESUT (CUPID) BORNEO - Part 2


................................................
“Jadi? Kamu bisa sebegitu bodohnya didepan cowok yang baru pertama kali kamu temui?” Tanya Melati seraya tersenyum lebar. “Apanya yang bodoh?. Aku baru sekali itu melihat senyum yang...yang...apa ya?” “Yang bikin kamu ‘fall in love for the first sight’? tanya Melati seolah mengejekku. “Apaan,sich!” rujukku. “Hari ini kita nggak ada jadwal apa-apa lagi kan di kampus? Aku ada janji sama Edmund.” Ya semalam akhirnya kami sepakat untuk bertemu lagi pukul sebelas pagi. “Wah,ada guide yang jatuh cinta sama turisnya.” Lagi-lagi Melati mengejekku sesuka hatinya. “Terserah,dech! Aku duluan ya,Mel.” Jawabku seraya melangkahkan kaki menuju parkiran kampus. “Wah,ada yang ngambek,nich. Salam ya,buat Edmund! Setidaknya aku tahu,ternyata sahabatku normal.” Teriak Melati dari kejauhan. “Sialan!” sungutku dalam hati.Mestinya tadi aku nggak cerita apa-apa kedia, termasuk bagian ending yang membuat aku malu setengah mati. Tapi kalo nggak diceritakan bisa meledak aku.Soalnya perasaan ini makin kuat sekarang.Apalagi melihat arloji ditangan yang menunjukan kalau sebentar lagi pukul sebelas pagi.

Satu bbm mampir di room chat ponselku,dari Edmund. Semalam kami sempat bertukar pin. Ada gambar pemandangan alam yang dilatari sebuah gunung di picture yang dia pasang.Statusnya bertuliskan ‘terdampar di negeri antah berantah’ dilengkapi emoticon yang sedang menutup mata. “Huh! Apa dia pikir kalimantan ini nggak masuk di peta Indonesia?. Nanti kalau dia sudah lihat betapa indahnya Borneo dia pasti berubah pikiran.” Ucapku dalam hati. “Jadikan kita ketemu jam sebelas ini?” bunyi bbm Edmund disertai emoticon pamer gigi. “Jadi” balasku singkat. “Dimana? Yang jelas ya instruksinya. Nggak pake jalan kaki seperti semalem,lho ya?.” “Islamic Centre,di depan gerbang utama.Aku pake baju biru.” “Biar ga dikasih tahu pakai baju apa kamu hari ini juga nggak masalah. saya  sudah inget wajah kamu.” Balasan terakhir Edmund harusnya bikin aku yang gampang bad mood ini kesal. Tapi kali ini berbeda,aku malah merasa senang. Senang? Ya,senang. Ternyata dia mengingat wajahku. Eits,kelewat gede rasa aku sepertinya.Bukannya di Picture blackberryku ada fotoku yang narsis terpampang dengan begitu jelas?. Sampai jerawat dipipi kanan juga ikut mejeng.Buru-buru aku mencari foto yang lebih kalem untuk mengganti foto yang terkesan menakutkan tadi.Barangkali nanti Edmund melihatnya lagi. Lho? Kok jadi semua serba harus menurut penilaian Edmund ya? Ada apa ini? 

Ternyata kali ini bukan aku yang harus menunggu Edmund datang.Dia sudah lebih dulu menunggu didepan gerbang masuk ke Islamic centre. “sudah lama disini?” tanyaku berbasa-basi. “Lima menit dua puluh tujuh detik” jawabnya sambil melirik ke hp yang dia pegang. “Bagus,dech.Berarti aku nggak parah-parah banget telatnya.” Aku tahu saat memberikan jawaban itu Edmund sedang menatap kearahku. “Itu buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ke kamera DSLR yang dia bawa. “Buat ambil gambar-gambar indah,donk.Tadinya saya pikir mau diajak kemana? Nggak tahunya diajak kesini.” Tanpa menggubris ocehannya aku melangkah masuk.Aku mendengar jejak kaki Edmund mengikutiku dari belakang.  

”Ly! Bisa pelan sedikit nggak jalannya?.” Aku menghentikan langkah “Kenapa? Masuk ke dalam masjidnya juga belum, sudah kecapekan?” “Bukan. Gimana saya bisa potret tempat ini,kalau kamu terlalu cepat jalannya?.” “Bukannya kamu tadi nggak tertarik sama tempat ini ya?” tanyaku sedikit ketus. “Memangnya saya ada bilang begitu,ya?” jawab Edmund cuek,karena sedang bermesraan dengan kamera ditangannya. “Saya sudah pengen ke tempat ini,kok. Dari awal pertama kali masuk kota Samarinda. Bangunan ini begitu mencolok dilihat ketika saya melintasi jembatan mahakam malam itu. Indah!.” Sambungnya lagi. Aku mengalah dan membiarkan dia asik dengan kameranya. Islamic centre memang begitu indah. Rumah tuhan bagi kaum muslim ini termasuk Masjid terbesar dan termegah kedua di indonesia dan di asia tenggara. Banyak pendatang dari luar pulau yang menyempatkan diri untuk mengabadikan gambar dirinya dilatari Islamic center.

“Kita bakalan sampai malam nggak,disini?.” “Kenapa?” “Kalau malam begitu lampu-lampunya menyala saya yakin bisa mendapat gambar jauh lebih indah. “Boleh. Tapi yakin mau sampai malam?” ini baru pukul satu siang batinku. “Oya,disini ada tujuh menara.Dari salah satu menara itu kamu bisa melihat kota samarinda keseluruhan.terutama kota yang diseberang sungai itu.” “Memangnya yang diseberang sungai itu bukan bagian dari samarinda? Kok,kamu nyebutnya kota yang diseberang sungai?” tanya Edmund. “Itu juga bagian kota ini,hanya saja karena dipisahkan oleh Sungai Mahakam dan dihubungkan oleh jembatan Mahakan,warga lokal biasa menyebutnya Samarinda seberang.Dari Tepian tadi malam kamu juga bisa melihat kota itu indah dengan lampu-lampunya.” Edmund mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penjelasanku. “Ayo,jalan lagi!” ajakku.

Kami mulai menyusuri bagian lain dari Islamic Centre. Beberapa kali berhenti dan mengamati Edmund yang seakan menciptakan dunia sendiri bersama kamera yang dia pegang.Tapi diam-diam,aku mulai menyukai cara dia setiap akan memotret sebuah objek. Aku menggelengkan kepala dengan cepat,agar pikiran-pikiran aneh tidak mengganggu kesadaranku siang ini.“Karena keindahannya, masjid ini sering juga dipakai untuk foto prewed.” Ujarku. “Oya?” Jawabnya dengan pandangan masih tertuju ke kamera yang dia pegang.Sesekali tangannya menekan bagian pengaturan dikamera,yang aku sama sekali tidak memahami untuk apa dia melakukan hal tersebut. “Tapi tempatnya memang bagus.Walaupun saya bukan muslim saya cukup tertarik dengan ornamen-ornamen didalamnya. Bisa nggak terasa capek kalau keliling ditempat seindah ini.” Sambil mengoceh Edmund terus saja berhenti seenaknya di tempat dia merasa bisa mendapat gambar-gambar bagus dari Islamic centre. “Sayangnya,saya Cuma punya waktu empat hari disini.” Edmund berhenti sejenak. “Ly,coba dech kamu berdiri disitu!.” “Aku? Buat apa?” tanyaku polos. “Mau foto kamu,nanti saya tunjukin kalau hasilnya bisa jadi bagus banget,walaupun modelnya jutek.” Jawabnya sambil terkekeh. Hhmm...lagi-lagi tawa itu bikin aku nggak bisa menolak permintaannya.

“Mana hasilnya,aku mau lihat?” pintaku setelah dua sampai tiga kali Edmund mengambil beberapa pose kaku dan canggung dariku. Padahal biasanya aku narsis setengah mati. Namun kali ini aku mati gaya didepan seorang Edmund. “Wah,sepertinya saya gagal. Tumben hasil fotonya nggak sebagus biasanya? Pasti ini karena modelnya.” Jawaban yang keluar dari mulutnya membuat mataku melotot. “Kamu yaaaaa....!” pekikku sambil melempar salah satu sepatu yang aku pakai kearahnya. Dengan gesit dia menghindar “Yeee... nggak kena!” ucapnya seraya menjulurkan lidah kearahku dan berlari menjauh.
                                    ................................................................

Dari seberang sana aku dengar suara tawa Melati makin menjadi-jadi. “Cieh...yang kencan sepanjang siang.” “kencan? Siapa yang kencan?.” Hawa hangat menjalari pipiku seketika. “Kasih lihat ke aku,donk. Yang mana yang namanya Edmund?” pinta Melati. “Janganlah,nanti kalau kamu sampai naksir dia bisa repot.” Aku kenal baik Melati sejak duduk di bangku SMU. Dia itu tipe cewek yang gampang jatuh cinta. Sampai sekarang ketika kami kuliah di kampus yang sama,aku belum pernah lihat dia pacaran bertahan lebih dari dua bulan.Bertolak belakang sekali dengan aku yang sama sekali belum pernah punya pacar. Bukannya belum pernah sich,hanya saja belum mendapatkan yang pas dihati (modus membela diri kambuh),hehehehehe.

“Repot gimana?. Repot menyatukan kepingan hatimu yang hancur berantakan,ya?” ledek Melati. “Cinta itu indahkan,Ly?.” Tanya Melati lagi. “Iya,indah. Karena begitu indahnya kamu bisa gonta-ganti pacar semaunya.” Ucapku berusaha membalas ledekannya. “Manusia sudah ada takdir masing-masing,beibh...Jangan tolak lagi,tuch.kebaikan tuhan yang sudah menumbuhkan rasa cinta dihati kamu setelah sekian lama.” Sialan pikirku,malah aku yang balik kena ejekannya. “Udahan,ya.Beibhh...Ngantuk!.” Ujar Melati mengakhiri pembicaraan. “Oke,bye!” balasku yang agak bergidik mendengar suara Melati mengucap kata ‘Beibhh’. Para cowok bisa tergila-gila setengah mati itu dengar kata ‘Beibhh’ dari mulutnya.Bedanya, aku malah risih.

Pukul sebelas malam dan belum bisa tertidur,padahal seharian tadi sudah lumayan letih menemani Edmund berburu gambar.Iseng aku melihat kontak bbm Edmund.Kali ini dia memasang fotonya sedang duduk di sebuah taman. Tapi statusnya belum di update.Aku hampir nggak percaya saat lampu di bbku berkedip merah dikarenakan Edmund mengirimkan bbm buatku. Aku buru-buru read bbm nya. ‘belum tidur? Ganggu nggak?’ Ada perasaan senang membaca kalimat itu. ‘Belum. Nggak ganggu,kenapa?’ balasku.Aku agak menyesali kenapa harus cepat-cepat membalas bbmnya. ‘Malam minggunya kemana tadi?’ Pertanyaannya kali ini membuatku kebingungan menjawabnya. Rupanya ini tadi yang menyebabkan Edmund tidak jadi menunggu sampai malam untuk mengambil foto Islamic centre. ‘Nggak kemana-kemana?’. Sebelum send kata-kata itu aku mendeletenya dan menggantinya dengan kalimat ‘cewek kamu pasti kesepian ini malam. Kamunya sedang berada di negeri antah berantah’ balasku seraya menambahkan emoticon tertawa lebar.

Cukup lama aku menunggu bbm ku berganti dari huruf ‘D’ menjadi ‘R’. Barangkali dia sedang bbm-an dengan pacarnya diseberang sana pikirku. Atau jangan-jangan pertanyaanku tadi garing banget.‘Besok,kita kemana ya?.’ Fiuhhh...ternyata dia tidak menanggapi bbmku sebelumnya. Ada perasaan kecewa karena berarti aku tidak mendapatkan jawaban apakah Edmund sudah ada yang punya ataukah masih available. Tapi bukannya aku juga tadi nggak menjawab pertanyaannya sewaktu dia menanyakan apa kegiatanku malam ini?. Memangnya aku harus jawab apa? Punya Pacar juga nggak. Mau bilang nggak kemana-mana rasanya kok gengsi.

 ‘Besok kita ke Desa budaya Pampang’ balasku. ‘Wah? Memangnya disana ada apa ya?’ tanya Edmund. ‘Kita melihat desa suku asli kalimantan, suku Dayak.’ Jawabku. ‘Nggak ada yang makan manusia, ‘kan disana?’ emoticon menunjukan wajah ketakutan menyertai. Aku memasang emoticon tertawa lebar ‘kalau pun ada,dia nggak bakalan doyan makan kamu. Pahit!’ balasku. Kali ini aku meminta dia datang berkunjung kerumah dari hotel tempat dia menginap. Karena besok hari minggu Papi punya waktu untuk mengantar kami menggunakan mobil kesayangannya. Jarak pampang sekitar satu setengah jam ditempuh dari samarinda. Kasian motorku kalau harus dilariakan kesana. Tapi sepertinya naik motor berdua Edmund lebih romantis dari pada pergi bersama-sama Papi besok. Lamunanku dibuyarkan oleh getaran ponsel yang kupegang.‘Apa saya nggak ngerepotin Papi kamu besok?’ tanyanya. ‘Dari awal datang juga udah ngerepotin’ balasku. Yang hanya dibalas Edmund dengan emoticon melipat tangan didepan dada. Aku hanya tertawa kecil melihat balasannya itu. Ada yang bener-bener nggak beres diotakku. Harus segera menginstal anti virus baru di memory otak. Stadium virus Edmund yang menjalari otakku sudah semakin parah.

                                                               to be continue




Tidak ada komentar:

Posting Komentar