Senin, 11 Februari 2013

PESUT (CUPID) BORNEO - Part 3


“Ly,Papi sepertinya hari ini nggak bisa anterin kalian ke Pampang.Atasan Papi mendadak ngajak rapat dikantor.” Ucapan Papi disela-sela sarapan pagi membuatku kaget. ”yahh,Papi!.” Gumamku. “Papi ‘kan nggak mungkin menolak ajakan Bosnya dikantor” sahut Mami menanggapi kekecewaanku. “Bagaimana kalau kalian pake mobil Papi?. Biar Papi yang naik motor” Papi berusaha membujuk aku. Pampang memang lumayan jauh dari pusat kota samarinda. Tapi, biasanya Papi harus membawa dokumen yang banyak sekali setiap kali Bos nya mengadakan meeting dadakan dikantor. “kasihan Papi” pikirku. “Nggak usah,Pi. Nanti Lily naik motor saja sama Edmund.” “Yakin kamu?” tanya Mami terlihat cemas. “Yakin,donk” jawabku.

“Ngomong-ngomong bagaimana si Edmund menurut kamu,Ly?” tanya Papi. “What? Maksudnya apa,nich? Tiba-tiba pertanyaan aneh keluar dari mulut Papi. “Edmund?” tanyaku balik ke Papi. “Iya,Edmund anak temen Mami.” Jawab Papi. “Biasa. Nothing special from him” jawabku sambil mengaduk-aduk teh yang baru mami tuang kedalam cangir biru dihadapanku,sebagai penetral kegugupanku sewaktu menjawab pertanyaan konyol Papi. Bertepatan itu pula, wajah Edmund memenuhi otakku. Cowok dengan tinggi seratus tujuh puluh lebih itu selalu membuatku harus menengadah saat melihatnya. Apa karena aku kelewat pendek?. “Hmm..aku mungil bukan pendek,hehehehe.” Batinku membela diri. Belum lagi mengingat Edmund yang selalu punya kebiasaan menyisir rambutnya kebelakang degan jemari tangan.Membuat rambutnya yang ikal itu berdiri dengan sempurna (apa sich,ya?).Kemudian caranya tersenyumnya yang terkadang membuat aku ingin terus membuat garis bibirnya melengkung keatas.

“Ly! Lily! Itu piringnya kasih ke Edmund!” Suara Mami seketika membuatku tersadar dari lamunan. “Edmund?” tanyaku kebingungan. “Hai! Selamat pagi!” sapa sebuah suara dari sebelah kananku. Aku hanya berani melirik kearah kanan. “Huff..sejak kapan mahkluk itu keluar dari alam inajinasiku? Apa karena begitu konsentrasi ngelamunin dia,objek lamunanku itu bisa keluar dan muncul di alam nyata” pikirku,agak berlebihan sepertinya. “Sejak kapan kamu disini?” aku menarik napas dalam-dalam menyesali pertanyaan bodoh yang baru saja keluar dari bibirku. “Sejak lima menit yang lalu,sewaktu kamu lagi bengong mengangin sendok itu” jawabnya seraya menyambut piring dan sepasang sendok garpu yang aku ulurkan kepadanya.

“Edmund betah di Samarinda?” tanya Papi. “Betah om,apalagi ada Lily yang bersedia menemani” jawabnya. “Huh,jawaban apa itu?” batinku. “Semalam tante cukup lama menerima telepon dari Mama kamu. Seharusnya kamu nggak perlu menginap di hotel. Dirumah tante masih ada satu kamar kosong” sambung Mami. “Terimakasih tante,atas kebaikannya. Tapi Edmund sudah terlanjut reservasi hotel dari jauh-jauh hari sebelum ke Samarinda” jawabnya sopan. Memang benar masih ada satu kamar kosong dirumah ini. Aku adalah anak tunggal Mami Papi. “Wah,ini ya tante yang namanya nasi kuning?” tanya Edmund penuh minat. “Betul. Mamamu bilang,kamu penasaran mau mencoba makanan ini?.” “Itu ikan apa,tan?” tanya Edmund lagi. “Kalau di tanah jawa,ini dikenal dengan nama ikan gabus. Tapi disini disebut dengan ikan haruan.” “Oh,ikan yang mirip ular itu ya?.” “Hahahaha,bisa saja kamu. Ayo dicicipi.Ini sengaja tante masak begitu tahu kamu mau main kesini.” Edmund mengambil sepotong ikan haruan dan mencicipinya. “Wah,luar biasa tante rasanya enak banget. Jujur nich,tan. Biasanya saya nggak doyan ikan ini. Tapi begitu dicampur dengan bumbu balado buatan tante,rasanya jadi ‘maknyus’.” Pujian Edmund seraya menirukan gaya pak bodan itu membuat mami tersipu. “Pinter banget ini orang ambil hati Mami” pikirku. “Sebenarnya itu bukan Balado,disini itu disebutnya masak habang.” Jelasku padanya. Edmund terlihat lahap sekali memakan masakan mami

“Wah,apalagi ini,tante?” tanya Edmund ketika Mami yang dari arah dapur menyodorkan satu piring penuh berisi sanggar cempedak. “Wangi banget.” Sambung Edmund. “Ini namanya sanggar cempedak” Jawab Papi. “Om berangkat dulu ya,Edmund. Silahkan dicicipin Sanggar cempedak buatan tante.Hati-hati ya kalau sampai ketagihan” ledek Papi. “Lho,bukannya si Om ikutan ke Pampang ya hari ini?” tanya Edmund padaku. Mami yang sedang sibuk mencuci pirig didapur menjawab, “Om tiba-tiba harus rapat dikantor,jadi kamu nanti berangkat sama Lily saja berdua.” Aku mengajak Edmund pindah duduk dari ruang makan ke ruang tamu. “Kenapa ini disebut sanggar cempedak,Ly?” tanya Edmund. “Sebenarnya sanggar itu nggak Cuma dari cempedak.Buah Pisang juga bisa dibikin sanggar” jelasku. “Oh,aku ngerti.Jadi sanggar itu sebenarnya mungkin sejenis Pisang goreng ya?.” “Iya,tumben pinter” ledekku. “Sanggar itu bahasa lokal warga sini.Bukan sejenis pisang goreng,tapi ya memang pisang goreng istilah lainnya.”

“Enak banget rasanya,manis terus juga aromanya wangi.Lebih wangi dari kamu,Ly” Oceh Edmund. “Memangnya aku buah,kamu banding-bandingkan sama cempedak” jawabku. “wah,kok ada bijinya ini didalamnya?”. “Itu bijinya bisa dimakan,enak rasanya.” “Makan biji? Yang bener aja?”. “Cempedak itu buah yang banyak manfaatnya.Bentuknya seperti buah nangka,tapi wanginya beda. Buahnya bisa dimakan begitu saja atau dijadikan sanggar.Kulitnya biasanya direndam air garam beberapa minggu, setelah dikupas bagian luarnya dan dipotong persegi.Nanti setelah itu bisa digoreng atau ditumis dengan bumbu.Rasanya enak mirip daging ayam.Bijinya biasanya dikumpulin Mami untuk direbus ditambahkan sedikit garam,bisa dimakan jadi camilan.Nah,ada juga beberapa yang bisa mengolah daunnya cempedak menjadi sayur” jelasku panjang lebar.”Hahahaha,bener-bener ya kreatifnya orang kalimantan.” Jawab Edmund,yang entah kagum atau sebaliknya.

Setelah pamit ke Mami,tepat pukul dua belas siang aku dan Edmund berangkat ke desa budaya Pampang.Kami tiba tepat satu jam,sesuai perkiraanku.Udara hari ini cukup mendukung.”Kita kearah mana ini,Ly?.” Tanya Edmund setelah kami melewati gapura bertuliskan ‘Selamat datang di objek wisata Desa budaya Pampang’ “Masuk kedalam dulu sampai kita lihat lamin!.” “Lamin? Apa itu?.” “Lamin itu artinya rumah.” “Unik juga ya bahasa dan istilah-istilah di Borneo ini” ucap Edmund. “Parkir disini,aja!.Kita lanjut jalan kaki  masuk ke dalam kearah lamin. Tempat biasanya pertunjukan tari-tarian diselenggarakan.” Jawabku sambil melirik kearloji di pergelangan tangan.”Masih ada waktu setengah jam lagi.” Pikirku. Di desa budaya Pampang setiap hari minggu warga setempat mengadakan hiburan untuk menyambut pendatang.

“kok,bisa pemukiman dayak ini dijadikan tempat wisata?” tanya edmund seraya menyiapkan kamera DSLR nya. “Sebaiknya itu kamu simpan dulu,dech!” ucapku seraya menunjuk kearah kamera yang dia pegang. “Kenapa? Bukannya banyak hal yang bisa diabadikan disini?.” “Disini nggak boleh ambil foto sembarangan. Kamu harus bayar setiap kali mau ambil gambar. Paling murah dua puluh lima ribu,paling mahal lima puluh ribu” aku berusaha memberikan penjelasan kepada turis satu ini. “Gila! Serius?.” Edmund terkejut mendengar penjelasanku barusan. “Ya,dicoba aja,kalau kamu nggak percaya.” “Kenapa baru ngomong sekarang? Percuma dong,aku bawa kamera kesini.” “Kita nonton pertunjukannya dulu dech!” ajakku begitu melihat banyak pendatang yang mengisi liburan hari minggunya   mulai memasuki Lamin utama tempat pertunjukan tari-tarian akan dimulai. “Kamu tetap bisa ambil fotonya gratis,kok.Tapi pake beginian.” Ucapku sambil menunjukan ponsel yang kupegang.Edmund hanya menghela napas. “Mana bagus hasil gambarnya kalau pake begituan.Tapi ya sudahlah dari pada nggak ada dokumentasi sama sekali.”

Pertunjukan tari-tarian dimulai,aku dan Edmund memilih duduk di bagian depan. Agar memudahkan Edmund mendokumentasikan pertunjukan hari ini. “Wajah mereka kalau dilihat mirip wajah tionghoa ya?. Lihat yang itu,matanya sipit sekali.” “Mereka ini suku dayak Apokayan dan Kenyah.dahulu mereka mendiami wilayah malaysia,namun setelah Malaysia merdeka mereka yang cinta Indonesia memilih keluar dari wilayah Malaysia.Berkelana bersama kelompoknya.Berpindah-pindah dengan berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.Kehebatan mereka bercocok tanam menjadikan mereka mampu bertahan hidup dan merupakan keunikan tersendiri dari rumpun dayak lainnya.” Jelasku. Suara Sampe (alat musik suku dayak yang mirip kecapi) mengalun mengiri tari-tarian yang ditarikan dengan apik oleh para gadis-gadis dayak. Ada juga tarian dari kepala suku dan pemuda-pemuda dayak yang memperlihatkan tarian keperkasaan mereka saat berperang.

“Nich,buat tante Agnes.” Aku menyerahkan beberapa rangkaian manik-manik berbentuk gelang,gantungan kunci dan tempat tissue yang aku beli dari warga sekitar ke pada Edmund. “Kamu repot-repot,Ly? Nantikan aku bisa beli sendiri.” Jawab Edmund terkejut begitu tahu manik-manik yang aku beli tadi buat mamanya.Kerajinan manik-manik merupakan ciri khas dari warga dayak. Harga kerajinan ini pun bervariasi,tergantung dari manik-manik yang dipergunakan.Ada manik-manik yang asli dibuat dari batu biasanya dijual dengan harga relatif mahal.Sebelum pulang Edmund sempat berfoto menggunakan pakaian adat dayak,aku dipaksa untuk menemaninya berfoto. Aku memakai baju adat dayak wanita dan Edmund memakai baju adat dayak pria. Aku merasa canggung saat tangannya melingkar di bahuku,sedangkan dia dengan tampang cuek berpose tanpa memperdulikan aku. Beberapa orang yang berdiri menanti berfoto tersenyum-senyum penuh arti.Beberapa malah bersiul meledek kami. Ada yang terang-terangan berkomentar kalau kami adalah sepasang kekasih yang serasi.

 Dia juga rela membayar agar bisa berfoto dengan wanita yang memiliki telinga panjang.Telinga panjang memang menjadi salah satu ciri khas suku dayak.Semakin panjang telinganya semakin tinggi kastanya dimasyarakat dayak setempat. Untungnya keturunan-keturunan dayak zaman sekarang sudah diberikan kebebasan untuk memilih,mau memanjangkan telinga atau tidak.Sebagai anak perempuan keturunan dayak,aku bukannya tidak mau melanjutkan tradisi tersebut. Tapi rasanya kurang sesuai mengingat perkembangan zaman yang semakin pesat.Mungkin hal ini juga yang nantinya akan menjadikan telinga panjang suku dayak akan menjadi sejarah.

Kami tidak langsung pulang,Edmund mengajakku ke Tepian.tempat awal pertama kali kami bertemu malam itu.Angin sore tepian begitu sejuk,Edmund menyodorkan satu buah minuman dingin kepadaku.Kami duduk bersampingan sambil menghadap kesungai melihat kota samarinda seberang yang terlihat sibuk disore hari.Matahari yang perlahan tenggelam membuat suasana begitu berbeda.”Nggak terasa,besok aku sudah harus kembali pulang ke Surabaya.Kapan-kapan kamu main ya ke kotaku,nanti aku ajak kamu jalan-jalan juga.” Edmund memecah kesunyian diantara kami. “Sebenarnya masih banyak tempat yang belum sempat aku ajak kamu untuk mengunjunginya.”Edmund tertawa “Aku nggak menyangka ada begitu banyak tempat di samarinda yang begitu indah.Harusnya aku bisa lebih lama lagi disini,mumpung ada yang berbaik hati mau nganterin aku.” Ucapnya sambil menyenggol tubuhku.Aku menoleh kearahnya dan menikmati senyumannya, yang begitu menghangatkan hati.

Entah siapa yang mengawalinya,tiba-tiba tangan kami saling bergenggaman satu sama lain.Suara adzan magrib yang lamat-lamat terdengar dari kejauhan.Burung-burung yang terbang tergesa-gesa ingin pulang dan senja yang menggelap menghadirkan kesunyian diantara bisingnya beberapa kendaraan yang berlalu lalang. “kapan ya,aku bisa kembali ke kotamu lagi?” tanya edmund.”Kamu pasti akan kembali lagi kesini.Pasti!” jawabku begitu yakin. Kalimantan timur mempunyai mitos tersendiri,mengenai orang-orang yang pernah singgah dan meminum air sungai Mahakam.Mitos itu berkata,bahwa siapa saja yang sudah pernah meminum air sungai Mahakam akan kembali lagi menginjakan kaki di bumi Borneo. Banyak yang tidak percaya,tetapi banyak juga yang mengakui kebenaran mitos itu setelah kembali lagi dan lagi bahkan ada yang kemudian memilih menetap dikota ini. “Kamu lagi ngelamunin apa,sich?” Edmund membuatku tersadar. “Oh,nggak.” Jawabku. “Kamu sudah punya pacar,Ly?” tanya Edmund.

Aku tidak segera menjawab pertanyaannya tapi aku berbalik bertanya kepadanya. “Kalau kamu sendiri udah punya pacar,belum?.” “Wah,jadi saya yang diintrogasi!” Edmund tertawa sesaat. “Saya belum punya pacar,Ly. Kamu mau tahu apa penyebab utama yang membuat saya mau datang ke Kalimantan?” dia bertanya kembali seraya memandang wajahku. Jujur aku jadi agak nervouse dibuatnya. “Pemandangannya” jawabku. “Kamu ‘kan hobinya foto-foto” sambungku. “Kamu salah. Saya memang hobi fotografi, tapi ada sesuatu yang lebih menarik dari pada hunting gambar – gambar indah.” “Apa,dong?” “Kamu!. Masih ingat beberapa bulan lalu,Mami kamu pernah kirim foto – foto keluarga kamu ke Mama saya?” tanya Edmund yang aku jawab dengan anggukan kepala. “Dibalik indahnya pemandangan alam yang melatari foto-foto kalian,ada senyum seseorang di foto itu yang ingin saya lihat secara langsung. Sekarang saya lagi didekat pemilik senyum itu.” Kalimat Edmund barusan membuat degub jantungku berpacu. Seperti inikah cinta itu.

“Kalau kamu belum punya pacar,maukah kamu jadi pacar saya,Ly?” Pinta Edmund. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaan dia. “Beneran,Ly?” tanya Edmund lagi. Semburat kebahagiaan terpancar dari wajah pangeran tampan didepanku. Cupid sedang memain-mainkan lonceng di dua bilik hati kami. Panahnya telah membius kami dalam cahaya cinta. Waktu menunjukan pukul dua belas malam lewat satu menit. Tepat ketika Mami,Papi dan juga ada Melati menyusul kami ketepian. Ada kue yang diramaikan oleh lilin-lilin yang menyala yang sedang dipegang Melati. “Happy birthday my best friend” ucapnya, seraya menyodorkan kue yang dia pegang kehadapanku agar aku tiup lilinnya. “Make a wish dulu,sayang” bisik Edmund di sampingku.

Aku memejamkan mata dan mengucapkan doa demi doa. Aku berterima kasih pada Tuhan diatas sana,karena telah memberiku hadiah yang begitu indah di ulang tahunku kali ini,hadiah itu bernama Cinta.Aku berharap semoga cinta yang tercipta terpisah oleh jarak ini bisa indah selamanya. Cinta tidak pernah datang diwaktu yang salah,Cinta selalu datang diwaktu yang tepat. Buatku setelah dua puluh tahun menanti kehadiran cinta tidaklah sia-sia,karena karena penantian itu aku akhirnya menemukan orang yang tepat. Bagiku Edmund adalah orang yang tepat, pangeranku dari negeri seberang,yang rela menempuh jarak berjam-jam untuk menemui aku disini. Pangeran yang selalu tersenyum tiap kali aku cemberut atau pun kesal.

Aku membuka mata dan meniup lilin – lilin yang menari dibelai angin malam Mahakam. Aku bersyukur dikelilingi oleh orang – orang yang ku sayang dimalam pertambahan usiaku kali ini. Ada senyum Papi,Mami,sahabat terbaikku Melati dan Pangeran Edmundku. “Itu apa yang melompat-lompat,Om?!” Edmund setengah berteriak sambil menunjuk ke arah sungai Mahakam. “Itu Pesut.Ikan Pesut!” Papi juga menjadi begitu antusias. Benar ada sepasang Ikan Pesut sedang melompat-lompat,seolah sedang bercanda. Aku melarang Edmund yang ingin mengabadikan gambar Pesut menggunakan kameranya. “Jangan di foto. Biar ingatan kita saja yang mengabadikan,bahwa kita pernah melihat Pesut Mahakam sedang bercanda.”

Ada mitos yang mengatakan Pesut akan muncul dimana ada perasaan cinta yang timbul. Terimakasih Tuhan, Engkau telah menunjukan bahwa apa yang kami satukan atas nama cinta malam ini adalah sebuah perasaan yang benar-benar tulus dengan kehadiran sepasang Pesut. Aku merasakan Edmund menggenggam jemariku erat. “Aku akan selalu kembali,tunggu aku disini ya,sayang.” Aku hanya mengangguk perlahan dan dalam hati aku bergumam “Aku akan senantiasa menunggumu, Pangeran hatiku yang selalu berbicara bahasa Indonesia dengan medok logat jawanya” Aku mengulum senyum dan membalas genggaman tangan edmund dengan lebih erat. Aku mendengar ringtone pesan masuk ponselku berbunyi berkali-kali,mungkin dari para sahabat yang mengucapkan selamat atas pertambahan usiaku. Lagu A thousand years berulang terdengar setiap kali ada pesan berebut memenuhi kotak inbox ponselku.

....And all along i belived i would find you (dan selama itu aku yakin aku akan temukan dirimu)....Time has brough your heart to me (Waktu telah membawa hatimu padaku)....I have loved you for a thousand years (Aku telah mencintaimu ribuan tahun)....I’ll love you for a thousand more (Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi)....
       
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar