Minggu, 03 Maret 2013

HASDUK BERPOLA: Masihkah Rasa Nasionalisme Ada Di Setiap Jiwa-Jiwa Kita Yang Mengaku Indonesia?



Apa yang terlintas dipikiran anda ketika menyaksikan Trailer film Hasduk Berpola diatas?. Apakah sama dengan yang terlintas dipikiran saya?. Hasduk Berpola yang diangkat dari cerita pendek karya Bagas Dwi Bawono dalam facebooknya sebentar lagi dapat anda tonton di bioskop-bioskop kesayangan anda. Sebuah cerita pendek yang berawal dari kekecewaan Bagas Dwi Bawono, saat sidang paripurna 2009 dimana Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lupa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Hasduk berpola yang di sutradarai oleh Harris Nizam yang telah lebih dulu terkenal dengan filmnya berjudul Surat Kecil Untuk Tuhan ini akhirnya memilih Kirana Kejora, seorang penulis kelahiran Ngawi, 02 februari 1972 yang juga terbiasa menulis script film baik untuk ditayangkan di televisi maupun layar lebar. Untuk bekerjasama menulis sekenario film Hasduk Berpola bersama Bagas Dwi Bawono (penulis cerpennya). Meskipun premis cerita ini berat namun kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah cerita yang alurnya bisa diikuti dari sudut pandang anak-anak, generasi muda penerus bangsa yang diharapkan bisa meneruskan semangat nasionalisme bangsa dan tidak melupakan sejarah panjang Indonesia hingga bisa merdeka seperti saat ini.

Hasduk Berpola menceritakan sebuah fakta yang bisa kita jumpai di indonesia yaitu tidak adanya penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan yang telah berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka yang masih berumur panjang dan telah menjadi saksi hidup sejarah kemerdekaan Indonesia, saat ini harus berjuang keras untuk kemerdekaan hidup mereka dan keluarganya yang masih terjajah oleh kemiskinan di negara yang telah mereka perjuangkan untuk merdeka.

Adalah Masnun (Idris Sardi), seorang veteran mantan pejuang di tahun 1945 yang harus banting tulang, memeras keringat demi menyambung kehidupan dan membantu biaya kehidupan anaknya Rahayu (Iga Mawarni) seorang janda yang memiliki sepasang putra putri, Budi (Bangkit Prasetyo) dan Bening (Fay Nabila). Budi adalah siswa kelas enam sekolah dasar yang mempunyai kecintaan terhadap kegiatan kepanduan / Pramuka. Dalam kegiatan tersebut dia mempunyai saingan bernama Kemal. Suatu hari di umumkan bahwasanya akan diadakan Jambore Nasional. Cerita yang sebagian besar berlatar belakang kota Bojonegoro yang merupakan kota asal sang penulis cerpennya ini menghadirkan berbagai pemandangan alam yang indah.Seperti tepian sungai Bengawan Solo, lokasi objek wisata kayang api, toko nasional jalan panglima Sudirman dan tentu saja SD Negeri Mayang Rejo sebagai tempat bersekolah Budi. Tidak hanya itu ke sembilan anak-anak berbakat Bojonegoro selain Budi (Bangkit Prasetyo) juga diajak turut serta dalam penggarapan film yang juga mengambill sebagian proses syutingnya di Surabaya. Kota yang terkenal dengan sebutan kota pahlaawan, terutama ketika peristiwa 18 September 1945. Ketika itu pemerintah Belanda tanpa seizin pemerintah RI yang sudah merdeka pada 17 agustus 1945, mengibarkan bendera merah putih biru mereka di hotel Oranje sekarang hotel Majapahit. Dan terjadilah peristiwa perobekan bendera oleh pejuang-pejuang (arek-arek) Surabaya.

Ternyata harapan Budi untuk ikut Jambore tidak begitu saja bisa ia dapatkan, karena keterbatasan kehidupan yang dijalaninya, Retno sang ibu sempat melarangnya untuk melanjutkan keinginannya tersebut. Namun Budi tidak berputus asa, dia melakukan berbagai upaya agar bisa memperoleh uang untuk membeli atribut kelengkapan sebagai seorang Pramuka. Hasduk atau kain segitiga yang dipakai di bagian leher seragam pramuka pria yang dimilikinya sudah tidak layak untuk dipakai. Dukungan dari Masnun kakeknya, membuat Budi tetap bersemangat.

Masnun merupakan salah satu tokoh pejuang yang berada ditengah peristiwa pertempuran Indonesia melawan belanda di tahun 45, tepatnya ketika peristiwa penyobekan bendera Belanda 18 September 1945. Namun ketakutannya waktu itu membuat amanat besar yang dipercayakan oleh panglima dan rekan-rekan sesama pejuang gagal ditunaikan. Kegagalan Masnun dimasa lalu, membuat Budi mempunyai mimpi untuk mewujudkan cita-cita sang kakek. Bening melihat besarnya tekad Budi dan pada akhirnya dia merelakan sprei kesayangannya yang bergambar barbie untuk dijadikan Hasduk bagi sang kakak. Lantas seperti apa keseruan film yang bergenre drama keluarga yang berdurasi 100 menit ini?. Akankah Budi mampu mewujudkan cita-cita sang kakek?. Bagaimana reaksi orang-orang disekitar Budi ketika melihat dia memakai Hasduk Berpola boneka Barbie?.

Nikmati keseruan film Hasduk Berpola pada tanggal 21 maret 2013. Anda akan melihat bagaimana perjuangan seorang penggalang pramuka yang mencintai kakeknya dan menghargai setiap tetes bentuk perjuanganlah yang bisa menghasilkan sebuah impian itu menjadi nyata. Film yang memakan waktu tiga tahun untuk penggarapan skenarionya hingga matang ini turut menampilkan Hadi Subiakto yang pernah bermain menjadi ketut liyer di film Eat Pray Love. Saya sangat menyukai dialognya bersama Idris Sardi yang berkata, "lha wong disekitar ini saja banyak anak kecil yang tidak hapal lagu Indonesia Raya". Buat saya kalimat pendek itu menegaskan bahwa kita hampir lupa, rasa nasionalisme kita hampir luntur oleh kemajuan zaman, oleh life style kehidupan yang mulai kebarat-baratan. Anda juga bisa menyaksikan sang maestro biola memainkan biola klasik. Suguhan yang menurut saya sungguh lengkap.

Saya menyarankan bagi anda yang memiliki putera puteri yang duduk di bangku sekolah, kiranya dapat mengajak putera puteri  anda untuk bersama-sama menyaksikan film Hasduk Berpola ini. Dan tanyakan pada diri kita "Masihkah Rasa Nasionalisme ada disetiap jiwa-jiwa kita yang mengaku Indonesia".
Dan seberapa besar kita menghargai jasa pahlawan yang telah mendahui kita maupun yang sekarang masih ada disekitar kita?. 












Tidak ada komentar:

Posting Komentar