Selasa, 12 Maret 2013

MESKI BAHASA KITA BERBEDA

Aku ingin jadi sederhana, bahkan lebih sederhana dari rumit yang kamu gambarkan tentangku....Kamu menyapaku dengan senyuman dengan pandangan mata yang selalu sama binarnya...
kita selalu tanpa kesengajaan bertemu di simpangan jalan yang ramai itu...Sekali waktu kamu berhenti sejenak mencoba mengajakku berbicara, namun gerimis yang muncul tanpa diminta membuat langkahku tidak mungkin aku hentikan....
Mana mungkin ada rasa, jika hanya bertemu tanpa sengaja... Ya..memang seharusnya seperti itu bukan? namun,nyatanya aku selalu menikmati pergesekan udara saat kita berdua berselisih badan...Aku adalah sang hawa yang menuruti batasan norma, bahwa semestinyalah sang adam yang menyapa...Bukan sekedar tersenyum yang mengujar semua kata yang betapa sangat ingin aku dengar...Sampai tibalah skenario tuhan memaksa kita yang dungu ini untuk harus saling berkata-kata...
Sore itu, aku berjalan seperti biasa.Namun tanpa bermaksut sengaja, kaki-kaki yang biasanya melangkah beriringan ini pun tersandung batu kecil penghias jalan. Seketika itu juga tubuhku limbung,jatuh tepat mendarat di tubuhmu. Sedetik,lima detik...dua menit,mata kita beradu saling menantang dan menikmati adegan ini...
Sontak naluri malu yang kumiliki menjalar menyengat seluruh tubuh dan sesegera itu pula aku menjauhkan ,badan seraya mengucap maaf tanpa teratur, begitu melihat sebuah plastik yang berisi buah apel milikmu jatuh berserakan  di jalan beraspal itu...Lagi-lagi kamu hanya tersenyum dan memungut satu persatu buah apel yang jatuh itu...Perasaan bersalah tentu saja merajai hatiku, aku menyodorkan selembar uang padamu dengan maksut ingin mengganti rugi atas kebodohan sang langkah kaki...
Masih tanpa suara, kamu hanya menggeleng dan mendorong balik tanganku yang masih memegang selembar uang kertas tersebut...Rona kebingungan menyergapku, Setidaknya bolehlah aku untuk tahu siapa namamu wahai adam yang lidahnya terlalu kaku?...Dia tidak menjawab pertanyaanku, lagi-lagi tersenyum dan berlalu...aku merasa bodoh karena telah berusaha menyakan namanya..."Namanya Putera" sebuah suara seolah menjawab pertanyaanku. "Putera?" "Ya,dia bekerja sebagai pengajar di yayasan seberang jalan itu" Laki-laki itu menunjuk kesebuah bangunan kemana Putera melangkah."Terimakasih" aku bergegas mengikuti langkah Putera menuju sebuah gedung yang terlihat agak kusam tidak begitu terawat...Suasananya tidak begitu ramai, aku melihat bayangan Putera memasuki salah satu ruangan di gedung itu dan aku mengikuti langkahnya...Aku mengintip dari celah jendela yang sedikit terbuka...Putera menyapa anak-anak kecil dengan bahasa isyarat, anak-anak kecil itu mengeluarkan suara riuh namun bukan dalam bentuk bahsa normal seperti kita sehari-hari...Ya...mereka adalah anak-anak tuna rungu dan tuna wicara...Putera pun teernyata adalah seorang tuna rungu dan tuna wicara...Aku mengerti ternyata itulah penyebabnya dia hanya kerap tersenyum ketika kami saling bertemu...Senyum yang dia sampaikan itu ternyata adalah caranya untuk menyapaku, namun aku malah mengartikannya sebagai sebuah kesombongan...Tapi meski bahasa kita berbeda, esok hari aku berjanji akan membalas senyummu dengan senyuman terbaikku...Meski bahasa kita berbeda bukan berarti kita tidak bisa menyelaraskan artinya bukan??


Tidak ada komentar:

Posting Komentar