Selasa, 09 April 2013

LINCHI...


“Deal?!” aku menatap wajahnya yang ayu dan uluran tangannya.”Oke!” Chilli menghempaskan pelukannya ke tubuhku. Aku hanya berdiri mematung, berusaha mengingat lagi kenapa aku bisa menyetujui permintaannya barusan.Chilli adalah mahasiswi tenar dikampus. Bukan hanya karena parasnya yang diatas rata-rata,tapi juga karena prestasi akademisnya yang cukup menonjol. Yang paling aku suka dari Chilli adalah rambut panjang dan gigi kelincinya. Sehingga aku lebih memilih memanggilnya Linchi dari pada Chilli. Sebenarnya panggilan Linchi itu sudah aku berikan padanya sejak kami sama-sama duduk di bangku taman kanak-kanak.
“Gas,lihat! Lutut Chilli beldalah.” Gadis kecil berkepang dua itu berjalan terpincang-pincang. ”Kok,bisa? Sini,Bagas kasih obat!” seru anak laki-laki itu kepada si gadis kecil seraya berlari ke dalam rumah mencari kotak penyimpanan obat milik sang bunda. ”Aduh,pelih!” si gadis itu berteriak kesakitan sewaktu cairan obat merah menyentuh lutut kirinya. ”Cengeng!” ledekku mendengar logatnya cadelnya. ”Kok bisa jatuh? Kamu lari-larian terus,sich.” “Tadi Chilli mau tangkap kupu-kupu di dekat kembang sepatu itu” ujarnya seraya menunjuk kearah rimbunan kembang sepatu bunda. ”Diantara  tanaman itu kan ada bekas selokan yang belum selesai ditimbun sama ayah” aku memberi tahu Chilli seraya menepuk jidad. ”Huahhhh!!..” tangis Chilli akhirnya pecah. ”Kelinci biasanya lincah menghindari lubang?” ledekku lagi. ”Mulai sekarang,Bagas panggil kamu Linchi aja ya? Linchi alias kelinci Chilli.” Gadis kecil itu mengusap sisa air mata dan tertawa memamerkan gigi kelincinya. 

“Kamu melamun lagi?” Chilli menggoyang-goyang tubuhku. ”Nggak “ jawabku berbohong. Lamunan masa kecil antara aku dan Chilli sering mampu menarikku dari gravitasi. ”Cieh,yang baru jadian. Mesra banget,kemana-mana selalu berduaan” suara cempreng Siska memekakan telinga. Chilli hanya membalas sapaan basa-basi dari Siska dengan tersenyum seraya bersandar dibahuku. Aku agak risih dibuatnya,namun bukankah aku sudah menyetujui perjanjian kami. Untuk jadi pacar pura-puranya Chilli di kampus. Semua itu bermula ketika ketua BEM kampus Adika yang juga berstatus pacar Siska mulai main mata kepada Chilli. Sebenarnya Adika sudah jauh-jauh hari terpikat kepada primadona fakultas Ekonomi yang sekarang adalah (katanya) pacarku,Bagas Dirgantara.Bahkan sebelum Adika resmi menjadi pacar Siska. ”Kalau dia memang naksir kamu,untuk apa dia jadian sama Siska? Perempuan merak itu.” Aku memang suka menjuluki orang disekelilingku dengan julukan-julukan yang menurutku serupa dengan perangainya sehari-hari. Burung merak cocok sebagai julukan Siska yang congkak. Dulu bunda sering berdongeng sebelum aku tidur tentang beragam satwa,termasuk burung merak yang sombong. Yang menganggap tidak ada hewan lain secantik dirinya. ”Yang suka sama Adika juga siapa,Gas?. Makanya aku minta bantuan kamu supaya aku terlepas dari jeratan si ketua BEM yang terhormat dan si nenek sihir pacarnya itu.” Aku hanya menghela napas panjang mendengar penuturan Chilli.
"Akhirnya dia telepon!" pekik Lichi kegirangan. Aku sudah bisa menduga itu telepon dari siapa. Pasti dari sang LDR, Nico. Sudah hampir satu tahun Lichi dan Nico menjalin pacaran jarak jauh. Pertemuan mereka satu tahun lalu pada saat festival pertukaran pelajar kampus membuahkan benih-benih cinta dan entah bagaimana, serta siapa yang mengawalinya hingga mereka bisa resmi berstatus sepasang kekasih. Aku ingat mendengar kabar berita itu suatu pagi. "Bagas! Bagasss! Bangun!" Suara lantang Linchi disertai gedoran bertubi-tubi dipintu kamarku membuat mimpi indahku terobrak-abtik begitu saja. "Dibuka saja pintunya, Chili!. Bagas jarang mengunci pintu kamarnya." Samar aku mendengar suara Bunda diantara proses penyatuan raga dan nyawa. "Iya, tante." jawab Linchi yang langsung menyerbu kamarku. "Gas,Bagas! Bangun!." Aku akhirnya menyerah dan duduk bersandar di pinggiran tempat tidur. ”Kamu kesurupan ya? Jam tujuh pagi!” mataku terbelalak melihat jarum panjang arloji tangan menunjuk ke angka tujuh. ”Dari tadi malam aku berusaha mengabari kamu,tapi pesan yang aku kirim semuanya pending. Telepon juga nggak bisa masuk,kata bunda sedang ada perbaikan di jalur telepon kearah rumahmu sejak kemarin.” Aku bengong memandang bibirnya yang komat-kamit serupa membaca mantera. ”Kamu harus kasih ucapan selamat ke aku,Gas!.” “Bukannya ulang tahunmu sudah lewat dua bulan lalu,ya?.” “Bukan itu,Bagasss!! “ serunya gemas. ”Aku dan Nico semalam resmi menjadi sepasang kekasih!” pekiknya lagi kali ini sambil memeluk aku. Lalu secara refleks mendorong tubuhku kebelakang karena menyadari aku belum gosok gigi, hehehehe. Dan sekarang,sudah satu tahun mereka genap pacaran.


Masih dengan wajah merona merah aku melihat Linchi senyum-senyum sendiri membaca pesan-pesan gombal Nico. ”Mau pulang bareng,nggak?” tanyaku yang sudah cukup bersabar menanti dia selesai bermesraan selama satu jam. ”kenapa nggak kirim surat,aja? Bukannya lebih hemat dari pada harus telepon-teleponan begitu? Toh,sama-sama nggak berasa.” Linchi menatapku sinis. ”Kamu itu kelamaan jomblo makanya sirik.” “Bisa diulang nggak kata-kata jomblonya? Biar cewek-cewek satu kampus tahu. Sebenarnya cowok setampan aku ini statusnya masih available.” Sebuah gelas bekas air mineral terlempar kearahku.” udah,ayo pulang!.” Aku terkekeh dan merasa menang berhasil membuat Linchi kesal. ”Nich,semalam aku merekam lagu-lagu ini buatmu!” Linchi memasukan sekeping compact disc ke dalam tas ranselku. ”Lagu-lagu band indonesia lagi” Jujur saja aku tidak menyukai lagu-lagu band Indonesia. Menurutku terlalu cengeng dan agak lebay. Terkecuali lagu-lagu Indonesia yang beraliran jazz atau blues masih menjadi batas toleransiku indra dengarku. ”Kamu itu anak Indonesia bukan? Tahu dong,kalimat ‘Cintailah ploduk-ploduk dalam negeli’?.” Kontan saja aku dibuatnya ngakak abis, ”Kangen aku sama kecadelanmu semasa TK dulu” ucapku seraya mengusap-usap kepalanya. ”Eh,perjanjian pacarannya tidak termasuk sentuhan fisik ya?.” “Idih! Dimana-mana pacaran itu ya bersentuhan fisik.” “Itukan kalau pacar beneran!” serunya seraya menjulurkan lidah kearahku. ”Tadi di depan Siska mepet-mepet.Huh! Apes bener aku. Sudah nggak dibayar,kena omelan melulu” aku pura-pura merajuk.”Aku kan sudah kasih imbalan,Bagas sayang!” “Imbalan? Apa?” “Rekaman lagu-lagu yang didalam tas kamu” jawabnya seraya nyengir kuda.
            Sampai dirumah aku segera mencari alat untuk memutar CD pemberian Linchi. Ada sepuluh lagu yang direkam olehnya,namun aku tidak mendengarkan satu persatu lagu yang direkamnya. Linchi pernah ngomong,”Paling gampang mengungkapkan isi hati melalui sebuah lagu. Lirik-lirik didalam lagu membantu kita untuk mengungkapkan isi hati. Sekalipun itu lagu dangdut,ya nggak jadi soal.” Masalahnya aku tipe orang yang menyukai lagu itu justru dari keindahan musik dan aransemennya. Karena Linchi sebenarnya,aku jadi mulai menyukai lagu-lagu Indonesia. Aku juga mencintai produk-produk Indonesia. Termasuk mencintai Linchi. ”Diakan made in Indonesia” aku terkekeh sendiri membayangkan wajahnya yang membuatku gemas setengah mati. Salah satu alasan aku juga kuliah di kampus yang sama dengannya adalah karena aku tidak bisa jauh-jauh dari kelinci manisku itu. Sebenarnya Ayah ingin aku melanjutkan kuliah di universitas luar negeri. Entah apakah sebuah kebetulan atau takdir tuhan,banyak yang mengatakan wajah kami mirip.Tak jarang disangka kakak beradik oleh orang yang tidak mengenal kami.”Mirip?” gumamku.Aku pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan bahwa salah satu ciri-ciri jodoh kita adalah orang yang memiliki kemiripan wajah dengan kita. Tapi buktinya,Linchi malah pacaran sama seseorang nun jauh disana..
                                                 *************
            Aku terkejut dengan hantaman yang datang tiba-tiba dari arah belakang.Sesaat aku merasakan pusing yang luar biasa dibagian kepala. ”Adika!” seruku ketika tahu siapa pelaku pemukulan itu. Adika dan tiga orang anak kampus lainnya sedang mengepungku. ”Siapa yang suruh kamu berani pacarin Chili?!” bentak Adika marah. ”Oh,jadi ini wujud aslinya sang ketua BEM yang terhormat?” ucapku dengan nada yang sangat geram. ”Sudah jangan banyak omong kamu.Habisin dia!.” Selesai memberikan perintah itu aku mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Adika dan kawan-kawannya. Seingatku aku sempat memberikan perlawanan sesekali. Parkiran kampus malam ini memang kebetulan sepi sehingga Adika bebas melakukan apa yang menjadi rencananya. Aku tidak ingat siapa yang membawaku pulang kerumah,namun begitu siuman aku melihat Bunda dan Ayah serta Linchi. Melihat aku sudah siuman Ayah hanya menghela napas panjang dan berlalu keluar dari kamar yang diikuti oleh Bunda. Mungkin mereka memberikan kesempatan kepada Chili untuk berbicara berduaan denganku. Beberapa perban menempel ditangan dan wajahku. Rasa ngilu yang teramat sangat aku rasakan ketika mencoba untuk duduk tegak.
”Sudah,jangan bergerak dulu!” Linchi segera membantuku. ”Adika itu keterlaluan,kenapa dia bisa bertindak brutal seperti ini!.” Aku menatap Linchi,”dari mana kamu tahu kalau ini adalah perbuatan Adika?.” “Dari satpam kampus yang memergoki kamu setengah sadar waktu dikeroyok Adika dan teman-temannya. Sekarang Adika ditahan oleh pihak yang berwajib.Maafkan aku ya,Gas!” Linchi menundukan kepala “Ini semua gara-gara aku” seketika itu juga air matanya jatuh bercucuran. ”Nggak ini bukan salah kamu,kok.” “Seharusnya aku nggak mengakui kamu sebagai pacarku,hanya karena keegoisanku supaya bisa terlepas dari gangguan Adika dan Siska.” “Aku nggak apa-apa,Linchi!” seruku berusaha tersenyum dan duduk tegak sambil menahan sakit yang luar biasa pada beberapa bagian tubuh. “Aku hanya bingung sama kamu.Kenapa kamu nggak bilang saja kalau kamu sudah punya pacar,tapi kalian beda kota?.” Wajah Linchi semakin muram. ”Aku pamit ya,Gas.Kamu cepat sembuh,ya. Kalau perlu dengar lagu-lagu yang aku rekam buat kamu,itu obat mujarab yang bisa sembuhin penyakitmu. ”Aku hanya mengangguk dan melihat Linchi berlalu dari balik pintu kamar. Aku memutuskan untuk tidur setelah menelan beberapa pil pemberian dokter untuk mengurangi rasa sakit.
Ternyata Chili belum pulang dari rumah Bagas. ”Yah,kok nggak didengar lagunya!” Chili berseru kecewa mengintip dari balik pintu kamar Bagas. ”Harusnya kamu dengar lagu itu,Bagas!.Beberapa lagu aku cari liriknya untuk mengungkap perasaanku padamu.” “Chili, taxinya sudah datang.” Suara Bunda mengejutkan Chili. ”Iya tante,terimakasih.Chili pamit.” Bunda tersenyum melepas kepulangan Chili. Seandainya saja Bagas tahu,sebenarnya Chili dan Nico sudah putus satu bulan lalu.Ketika dikantin kampus tempo hari,mereka berjam-jam telepon karena Nico ingin menjelaskan ke Chili bahwa dia memang sudah benar-benar tidak bisa meneruskan hubungan jarak jauh mereka selama ini. Sebenarnya Chili berharap,dia bisa memperkenalkan Nico kepada Adika dan teman-teman lain dikampus. Perasaan itu ibarat cermin yang memantulkan bayangan serupa apa yang ditangkapnya bukan?.Apakah cermin perasaan itu kini sedang ada diantara mereka?.Perasaan cinta yang menyublim,diantara Chili dan Bagas.

note : Pinjem nama Chili, hihihihihi...cewek manis yang selalu menyenangkan...Salah satu cerpen awal tahun, yang idenya ngalir gitu aja, abis liat sepasang muda-mudi gandengan...hehehehehe....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar