Senin, 01 April 2013

MBAK JONI


                                       

Aku memandangi boneka hello kitty  memakai baju berwarna merah muda di etalase toko itu dengan mata berbinar.Beragam warna-warni jepit rambut dan bando yang dipajang dibagian aksesoris juga menarik perhatianku.Ingin rasanya aku meminta Ibu untuk membelikan beberapa untukku.Ibu sedang sibuk memilih kertas kado yang akan dijadikan pembungkus hadiah ulang tahun teman sekelasku di SD Harapan.”Joni! Ayo,lekas bantu bawa barang belanjaan Ibu!.” Aku yang terkejut segera bergegas berlari kearah Ibu.
                                                .................................................
            Potongan kenangan semasa kecil itu membuatku mengusap air mata yang menetes tanpa sadar dari pelupuk mata.”Kemindong  para maniak salon hari ini? Gilingan,Salon hari ini sepi banget!” Maiske alias Samad mondar-mandir sambil menggerutu.”Jenny,mawar makarena tinta? Akika Cacamarica makarena ya” ucap Maiske seraya berlari keluar salon dan berteriak memanggil mas Gun tukang ojek gebetannya yang barusan lewat.Yah,sekarang aku berubah menjadi Jenny,bukan lagi Joni.Sudah tiga tahun aku kabur dari rumah.Atas kebaikan Maiske aku diajak untuk bekerja di Salon miliknya.Salon Princess.Sebuah Salon kecil yang juga menjadi tempat tinggalku dan Maiske.Samad adalah temanku semasa sekolah,sejak memakai seragam putih abu-abu.Aku sudah tahu Samad memiliki jiwa yang sama sepertiku.Kami sama-sama menyukai aroma parfum perempuan,menyukai berdandan ala perempuan dan terkadang diam-diam mencoba baju-baju milik kakak perempuan Samad di rumahnya,tentu saja dalam keadaan sepi.
            “Jon..Joniiii! Pulang,nak! Ibu kangen kamu.” Suara Ibu dari ujung telepon malam tadi membuat hatiku miris.Tapi jika mengingat Bapak yang tidak bisa menerima keadaanku serta ucapannya yang tidak sudi mempunyai anak sepertiku,membuat rasa kangen kepada wanita yang melahirkanku itu terkubur dalam-dalam.”Permisi! Spadaaaa! Belnya rusak ya,mas?” suara seorang perempuan dari arah pintu masuk salon membuat aku memindahkan pandanganku kearahnya.”Salonnya buka,mas? Eh,mbak?” tanyanya kikuk.Wajar saja,perawakan laki-lakiku jelas-jelas tidak bisa disembunyikan.Tapi bedak dan lipstik serta make up yang kugunakan membuat dia bingung harus memanggilku dengan sebutan apa.Rambutku sendiri tidak terlalu panjang,namun juga tidak cepak seperti potongan rambut laki-laki pada umumnya.”Buka,kok! Mau nyalon? Tapi kalau potong rambut saya nggak bisa.” “Oh,hanya mau creambat.” Perempuan itu memberanikan diri untuk masuk.”Tumben sepi,mas...Eh,mbak?” “Memangnya sebelumnya kamu pernah kesalon ini? Kok,saya nggak pernah lihat kamu?” “Sering lewat,sich.Saya ngekost di jalan belakang salon ini.Biasanya siang begini salon ini ramai?.Terkadang mau mampir,tapi takut antri” jawabnya.”Keramas dulu,yuk!.”
            Maiske pulang membawa satu tas plastik besar.”Jenny,akika belikan yey makarena di warung biasa.Endang rasanya dan mursida pula.” ”Mana mas Gun?” tanyaku.”Lambreta! motorola tua,masih juga dipakai.Bikin akikah mawar merekah!.” Aku hanya terkekeh mendengar ucapannya.”Mas,ehh...Mbak! Emang nggak bingung denger temannya pakai bahasa planet begitu?.”  “Kamu sendiri bingungkan mau panggil saya dengan sebutan apa?.Panggil saja saya Joni.Lebih jelas dari pada sekedar mas atau mbak.” Perempuan itu tersenyum.Senyumnya manis sekali,aku sesekali melirik parasnya yang terpantul dari kaca dihadapan kami.”Desi! Nama saya Desi.By the way,kalau saya panggil Joni apa orang-orang nggak pada bingung?” “Kenapa mereka harus bingung?” jawabku sambil terus melumuri rambutnya dengan cream ginseng.”Soalnya...Umm...” “Apa?” “Make up-nya tebel banget.” Jawab Desi agak takut jikalau menyinggung perasaanku.”Oh,ya?” Aku melirik penampilanku dikaca.Biasanya jika ada orang lain yang mengkritikku soal penampilan,aku akan langsung marah.Namun kali ini begitu kritik itu terlontar dari bibir Desi,aku merasa ada yang berbeda.Ada perasaan aneh mengaliri kisi-kisi hati dan serta merta menimbulkan perasaan malu karna berdandan seperti perempuan didepannya.”Ada apa ini? Kenapa bisa begini?” batinku.Pelan-pelan aku mengambil tissue dan mulai sedikit menghapus bibir yang terlapisi lipstik merah menyala.
            Siang-siang berikutnya Desi kerap  mampir sekedar menyapa aku sebelum berangkat kuliah atau pun mengajakku keluar makan siang seperti hari ini.”Kamu nggak malu ajak saya pergi makan?” tanyaku begitu sampai diparkiran sebuah warung bakso yang terkenal enak di daerah taman kota.Desi tertawa sesaat, “Paling cowok-cowok disekitar sini pada bingung.” “Bingung kenapa?” “Aku kalah cantik sama mbak Jenny” ledeknya.Aku hanya mengulum senyum dan pamit ketoilet umum.”Pesen sekarang atau tunggu kamu?” “Pesen aja duluan,saya pesenkan bakso tanpa mie, ya!.” Desi memandangiku dengan mulut terbuka lebar sekembalinya aku dari toilet,lalu dia senyum-senyum sendiri.”Dimakan nich,sudah dari tadi datang pesanannya.Keburu dingin.”Aku agak kikuk dihadapannya dan berusaha menutupinya dengan segera duduk dan menyibukan diri dengan semangkuk bakso yang sudah sedari tadi menungguku.”Kenapa nggak dari salon tadi pakai kaos begitu?.” “Ini?” tanyaku menegaskan seraya menunjuk kaos yang aku pakai. Desi mengangguk  dan tersenyum,manis sekali senyumnya.”Nggak enak sama temen kamu,ya?.Siapa? Maiske?.” Dalam hati aku membenarkan ucapannya.”Kamu tahu nggak,banyak orang-orang yang bergosip kalau kalian berdua adalah pasangan homo.” Aku menarik napas mendengar ocehannya barusan.”Tapi aku nggak percaya.” “Syukurlah!” jawabku spontan.
            “Mau langsung balik ke salon?” tanyanya.”Iya.Nggak enak sama maiske.Tapi aku ganti baju dulu,ya?!.” “Sudah,pakai saja kaos itu tidak usah diganti.” Desi menahan langkahku yang akan menuju toilet.Aku berpikir sejenak dan menuruti keinginannya,lalu membawa motor melaju kearah salon Princess.”Aku masuk dulu,ya!.Terimakasih sudah ditraktir bakso.”Aku melangkakan kaki memasuki salon.”Dari mana?.Jali-jali sama itu pere,ya?” tanya Maiske.”Iya.”jawabku singkat dan segera membantu Maiske mengeringkan rambut pelanggan salon yang baru saja selesai keramas.”Yey,pecongan ama itu pere?” selidik Maiske lagi.”Nggak.Hanya berteman.Lagi pula mana ada perempuan yang mau sama orang seperti aku.” Aku mengerti bahasa-bahasa ala Maiske dan mahkluk jadi-jadian seperti kami,namun jujur saja aku tidak terbiasa menggunakannya dalam keseharian.”Lagi juga,mbak Jenny mana doyan perempuan.Iyakan,mbak?” ledek ibu-ibu dibelakangku.Aku hanya ikut tersenyum mendengar celotehan ibu-ibu itu.”Kita-kita ini doyannya yang berotot,jeng.” Maiske menimpali sambil menirukan gaya binaragawan.Kontan saja gelak tawa ibu-ibu itu pecah.Inilah rutinaitasku yang tiga tahun terakhir membuat aku merasa bahagia sampai ketika sosok bidadari itu tiba.Sosok seseorang perempuan yang bayangannya selalu berputar-putar di alam pikiranku.Aku terlupa bahwa aku telah mengingkari kodratku dan memaksa orang-orang di sekelilingku untuk bisa,mau dan harus menerima keinginanku.Menjadi seorang ‘Waria’.
            “Sudah mau tutup,baru jam segini? Tumben?.” “Eh,Desi!.Iya,seharian salon ramai sekali.Maiske kecapaian dan menyuruhku untuk tutup saja salonnya.” “Anterin aku beli makan,yuk!.Pasti kamu juga belum makan malam,kan?.” “Naik apa?” “Jalan kaki,aja.Keujung jalan depan,ada tukang jualan sate.Enak!.” Aku mengiyakan,sate diujung jalan itu memang terkenal enak.Maiske sering membelinya untuk menu makan malam.”Sekarang,sudah nggak pernah dandan lagi? Pakai baju juga sudah normal? Ada apa?.” Jujur saja aku ingin sekali menjawab pertanyaannya dengan kalimat,”Karena kamu,karena aku suka kamu,Desi.karena aku ingin terlihat normal dimatamu.” Belum lagi kalimat terlontar dari bibirku suara suitan dari laki-laki yang berkumpul di pos ronda sudah membuat nyaliku ciut.”Suit-suit,ciehh..neng Desi makin cantik aja.Pasti dibantuin dandan sama kamu ya,Jen?” Desi tidak menggubris celoteh-celoteh mereka.Dia malah menggandeng tanganku dan menariknya agar berjalan lebih cepat.”Wah,enak bener tuh jadi bencong.Bisa gandeng-gandeng anak perawan cantik.” Suara-suara sumbang mereka masih terdengar samar-samar.”sudah,nggak usah diperdulikan.Orang-orang nggak punya masa depan,ya begitu.” “Apa bedanya dengan aku? Memangnya kamu lihat aku punya masa depan?.” Desi memandangiku beberapa saat dan kemudian berjalan lagi menuju penjual sate.
            “Satenya dua porsi,bang!.Minumnya satu teh tawar hangat sama....?” “Es jeruk,jangan terlalu manis” jawabku.”Besok lusa aku wisuda,Kamu datang ya!.” Aku? Datang ke wisuda kamu?.” “Iya,tapi jangan pakai kebaya.Nanti aku kalah cantik dibanding kamu.” “Kamu selalu saja meledek aku begitu.” “Maaf! Aku tidak bermaksud meledek atau menyakiti perasaanmu.” Jawab Desi dengan wajah serius.”Kamu itu mengingatkan aku pada seseorang.” Desi menarik napas dan terlihat matanya berkaca-kaca.”Siapa?” tanyaku.”Arya,kakak laki-lakiku yang meninggal dua tahun lalu.” “Meninggal? Sakit?.” “Dibunuh!.” Aku terkejut mendengar jawabannya.”Dia sama seperti mas Joni,berbeda dan mengingkari takdirnya.Dia nekat pergi dari rumah karena keluarga besarku tidak bisa menerimanya.”Sesaat Desi berhenti bercerita ketika sate pesanan kami diantarkan sang penjual.Desi mencoba menyembunyikan kesedihannya sambil menikmati seporsi sate kambing dihadapannya.
            “Aku nggak mau kamu bernasib sama seperti kak Arya.Dia dibunuh oleh teman sesama warianya,karena rebutan pria yang sama-sama mereka suka.” “Astaga!.” Aku hanya bergidik sesaat membayangkan.”Kamu berpikir aku dan Maiske adalah sepasang kekasih? Begitu?” tanyaku.”Bukan,aku bisa lihat kamu tidak seperti waria-waria lainnya.Termasuk tidak seperti mbak Maiske,karenanya aku mau kamu kembali pada kodratmu,mas Joni.” Kali ini Desi berbicara sangat serius sembari menggengam tanganku.Aku merasakan debaran perasaan cinta dihatiku menjadi memuncak dua kali lipat dari sebelumnya.Aku hanya tidak menyangka dia terang-terangan memintaku untuk kembali kepada kodratku.Yang sebenarnya sudah ingin aku lakukan sejak hari pertama bertemu dirinya.”Iya,aku akan berubah.Aku juga akan datang ke acara wisudamu besok lusa.” Desi tersenyum gembira.”Benar?” tanya Desi terlihat gembira.”Orang tuaku dan Mas Arif juga akan datang.Nanti kita foto bareng ya!”
            Pagi yang ditunggu tiba,aku bersiap untuk pergi keacara wisuda di kampus Desi. Maiske alias Samad tampak mengusap air mata dibelakangku.”Kamu terlihat tampan,Jon.Aku senang kamu bisa kembali kejalan yang benar. ”Aku sudah menelpon Ibu dan berjanji untuk pulang. Setelah menghadiri acara wisuda Desi. ”Terimakasih,Mad.kamu sudah bersedia menampung aku selama ini.”Aku memeluk Samad dengan perasaan haru. Acara wisuda itu begitu ramai dan ketika acara selesai aku diperkenalkan Desi pada orangtuanya dan Mas Arif yang ternyata tunangannya. Aku hanya menahan berbagai perasaan yang berkecamuk didada.Namun aku bersyukur setidaknya cinta terpendamku pada Desi sudah membuat aku kembali.Menjadi Joni Pranata,anak laki-laki Bapak dan Ibu.

Keterangan :
Kemindong: Kemana --- Gilingan: Gila --- Mawar: Mau --- Makarena: Makan --- Tinta: Tidak --- Akika: Aku --- Cacamarica: Cari --- Endang: Enak --- Mursida: Murah --- Lambreta: Lambat --- Motorola: Motor --- Merekah: Marah --- Pecongan: Pacaran --- Pere: Perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar